Senin, 14 Januari 2013

Kultur Politik Kita: Srawung Vs Gaduh

Oleh : David Efendi
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


Politik itu memecah sedangkan dakwah itu merangkul
 --Buya Syafii Maarif, 2007

Dari ungkapan tersebut memperlihatkan relasi kuat bahwa peradaban politik kita, menurut Syafiii Maarif masih sangat terbelakang walau pembangunan demokrasi selama ini sudah merampas banyak energy anak bangsa. Tidak sedikit yang merasa lelah berdemokrasi dan tidak sedikit pula yang merindukan penguasa ‘fasis’ ala otoritarian Suharto.  Hal ini tercermin dalam berbagai ekpresi publik dengan berbagai media yang membantunya baik di dunia maya maupun dunia nyata—baik yang diekpresikan dalam gossip sehari-hari atau tulisan dalam bak mobil dan seni jalanan.

Keterbelakangan kultur politik dalam alam demokrasi kita ditandai dengan dengan kegaduhan politik yang sangat bising di tahun 2011 dan 2012. Belum ada pertanda yang berarti bahwa tahun 2013 kegaduhan dan kontraproduktif politik akan berkurang—bahkan, secara akumulatif publik sudah memprediksi tahun 2013 adalah tahun politik yang pastinya akan diikuti berbagai panggung dan aksi theatrical politisi menyonsong pemilu legislative dan presiden pada pertengahan 2014. Sampah visual dalam media dalam kerangka politik pencitraan pun akan membanjiri jagat republik ini. Dalam pesta pora ini, kepentingan rakyat kebanyakan paling terabaikan dan yang meraup keuntungan terbesar lagi-lagi adalah pemilik kapital (sponsor) atau penyelenggara jasa konsultan dan survey politik.

Tahun Politik dan Varian Baru Politisi

Dalam tahun 2013 setidaknya ada empat hal yang menjadikan dunia persilatan di republik ini semakin panas.
Pertama, Pilkada. Menurut rilis yang penulis olah dari beberapa sumber bahwa akan ada sebanyak 160 pilkada di tahun 2013 dan awal 2014 yang meliputi 13 pemilihan gubernur, 105 bupati dan 32 pemilukada wali kota. Hal ini menyebabkan ada pergerakan uang yang sangat besar dan diikuti oleh berbagai pialang dan entrepreneur politik yang juga akan berlaga untuk mendapatkan jatah peruntungan masing-masing. Kegaduhan akan timbul selain persoalan ‘perang’ antar pendukung calon adalah diikuti dengan berbagai sengketa pemilu yang akan bermuara kepada kekerasan dan gugatan hukum.

Kedua adalah hal yang masih bertalian dengan kepentingan daerah dan elit lokal yaitu komodifikasi isu pemekaran daerah.  Kebijakan pemekaran juga memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap kegaduan politik akibat pro dan kontra baik antar elit lokal maupun kelompok kepentingan di daerah menghadapi politisi di senayan. Dalam persoalan ini banyak sekali ‘calo’ pemekaran yang menjadikan upaya berbagai kesejahteraan ini menjadi sangat koruptif. 

Ketiga, adalah pemilu nasional yang meliputi pemilu legislative dan eksekutif (pilpres).  Perang bintang dalam pra pemilihan presiden akan menjadikan eskalasi politik memanas. Selain perang survey juga akan diikuti konflik antara pendukung yang akan berpengaruh kepada penyebab kegaduhan berikutnya.  Keempat adalah kegaduhan yang diakibatkan oleh perpecahan atau faksi dalam partai terkait kandidasi dalam pemilu dan kepentingan elitnya.

Terakhir dan tidak kalah menarik adalah kegaduhan politik akibat persoalan penanganan korupsi dan persoalan lembaga ‘super body’ seperti KPK dan MK yang akan mengundang banyak permusuhan kepada pihak-pihak yang terancam terutama kelompok-kelompok yang terperangkap dalam kasus korupsi yang belum tuntas di tahun 2012 yaitu Hambalang, Wisma Atlit, Century Gate dan Simulator SIM.

Catatan Penutup

Namun demikian sangat dimungkinkan bahwa sepanjang tahun 2013 ini akan banyak calon incumbent dan penantang dalam pilkada atau pilpres akan mengubah strategi dari ketergantungan terhadap mesin birokrasi dna partai menjadi model ‘koalisi’ dengan rakyat ala Jokowi-Ahok. Strategi ini adalah upaya membangun dan menumbuhkan simpati publik walau sebenarnya banyak kesadaran palsu yang hendak dibangun. Dikatakan sebagai kesadaran palsu karena ini masih dalam logika politik pencitraan sehingga tidak bisa kita katakan sebagai model strategi kampanye politisi yang autentik sebagaimana model Jokowi dan Dahlan Iskan, untuk menyebut sedikit contoh, memang style dan bawaannya sudah seperti itu adanya. Inilah yang juga akan memberikan ruang ekpektasi baru baik bagi politisi atau rakyat tentang hadirnya manusia jenis politisi yang akan lebih “srawung” (istilah lain dari blusukan, yaitu senang menemui rakyat secara langsung dengan atau tanpa agenda) dan tentu saja meraka akan berusaha merebut gelar ‘pemimpin merakyat”.