Selasa, 15 Mei 2012

UI, Marzuki Alie dan Logika Penelitian


Oleh : Andi Saputra 
Wartawan Detiknews

Jakarta, Ketua DPR Marzuki Alie yang menyatakan ada korelasi antara koruptor dengan almamater perguruan tinggi ternama memicu kontroversi. Terlepas dari benar dan salah pernyataan tersebut, mengapa timbul analisa tersebut?

Dalam buku klasik yang menjadi pegangan wajib peneliti, "Berbohong dengan Statistik" karya Darrel Huff yang dicetak pertama kali pada tahun 50-an diceritakan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Saya mencontohkan jika ada 100 orang berkumpul di taman kota akan Anda pilah-pilah berdasarkan apa? Apakah berdasarkan warna kulit, kesamaan baju, asal daerah atau berdasarkan penghasilan per bulan?

Jawabannya mungkin, pertama 80 persen orang suka memakai baju putih saat berada di taman kota. Kedua, orang berpendapatan di atas Rp 10 juta jarang menghabiskan waktu di taman kota.

Begitu juga saat kita mengumpulkan data 100 orang koruptor. Data tersebut lalu dipilih variabel yang ditentukan oleh peneliti yaitu berdasarkan jenis kelamin, partai politik, tingkat pendidikan, asal daerah hingga latar belakang pendidikan. Hasilnya pasti banyak dan beragam dengan berbagai variasi.

Contohnya:

1. Korupsi paling banyak dilakukan oleh laki-laki.
2. Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi tingkat korupsinya.
3. Semakin besar partai, maka semakin besar kader yang melakukan korupsi.

Lalu mengapa muncul jawaban 1, 2 dan 3 di atas? Jawaban pertama karena laki-laki yang paling layak berperan di sektor domestik. Jawaban kedua yaitu karena korupsi ada di institusi formal yang hanya bisa dimasuki orang dengan syarat pendidikan minimal S1. Tidak mungkin lulusan SD menjadi dirjen di kementrian.

Jawaban ketiga yaitu karena semakin besar populasi maka akan semakin besar sampling. Semakin besar partai, maka sampling penelitian makin banyak dalam bilangan kemungkinan yang muncul dalam rata-rata.

Coba kita mulai berandai-andai dengan data perceraian. Menurut data Mahkamah Agung (MA) setiap tahunnya ada 400 ribu pasangan bercerai. Nah, Anda mau menyimpulkan berdasarkan apa mengapa orang bisa bercerai? Maka Anda akan mendapat jawaban sesuai data statistik itu.

Contoh:
1. Berdasarkan alasan penghasilan suami, maka (mungkin) jawabannya semakin rendah penghasilan maka semakin tinggi angka perceraian.
2. Berdasarkan alasan agama, maka (mungkin) jawabannya jika berbeda agama maka angka perceraian makin tinggi.
3. Berdasarkan alasan pertengkaran, maka (mungkin) jawabannya berbeda pilihan acara TV menyebabkan semakin tinggi pasangan bercerai.

Kembali lagi ke analisanya Marzuki Alie yang disampaikan di Kampus UI pada Senin (7/5) lalu, Sepanjang statistik murni, maka bukan menjadi masalah benar/salah. Tapi dalam pemuja madzhab kualitatif, tidak ada teks tanpa konteks. Tidak ada pernyataan tanpa alasan mengeluarkan pernyataan tersebut. Sebab penentuan variabel dalam penelitian kuantitatif, sangat dipengaruhi dengan subjektifitas peneliti.

Jika yang menjadi objek penelitian adalah korupsi yang masih marak, mengapa yang dijadikan variabel adalah latar belakang pendidikan?

Sumber : http://news.detik.com/read/2012/05/09/163424/1913246/103/ui-marzuki-alie-dan-logika-penelitian?nd992203605

Jumat, 11 Mei 2012

Andaikata Bush dan Ahmadinejad Nonton Piala Dunia

Oleh : Dr. Muhadji Effendi.,M.AP


Apa ada kaitan antara sepak bola dengan perang?. Jawabnya ya. Singkatnya,  sepak bola adalah bentuk sublimasi dari syahwat manusia untuk saling berperang. Ia adalah ”perang” yang sudah diperadabkan. Sumber syahwat itu adalah berasal dari konstruksi diri manusia itu sendiri yang pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur pasangan yang berlawanan (Binary opposision). Manusia disamping memiliki naluri bekerjasama juga konflik, memiliki perilaku mempertahankan  diri (defensif) tapi sekaligus juga   menyerang pihak lain (agresif).

Perang adalah syahwat yang sama sekali tidak bisa dielakkan oleh manusia. Manusia hanya bisa membelokkan syahwat itu ke dalam bentuk tabiat yang lebih sublimatif. Upaya pencarian bentuk ”perang” yang sublimatif itu sudah dimulai oleh masyarakat primitif, misalnya kebiasaan perang antar mereka diganti dalam bentuk tarian perang-perangan. Di era modern, Gang-gang anak muda brandalan di kawasan Manhattan,  New York telah mengganti perang antar Gang  dengan tarian yang pernah terkenal yaitu ”Break Dance”.

Perang adalah bentuk ekspresi manusia yang paling fenomenal  dalam melampiaskan naluri bekerjasama dan berkonflik, perilaku defensif  dan agressif secara simultan. Apapun alasannya, akibat dari perang adalah kehancuran yang berkesinambungan (Collateral damage). Menyadari akibat buruk sebuah perang itulah manusia mencoba mencari alternatif  bentuk ”perang” yang lain, yang lebih sublimatif, beradab, dan tidak destruktif. Bukan yang menebar penderitaan tapi menggembirakan. Sementara itu syahwat untuk saling berperang tetap terlampiaskan dengan baik. Dan, sepak bola adalah bentuk su blimasi pelampiasan syahwat berperang manusia yang paling sempurna dalam banyak segi. Bahkan Pepe Escobar,  dalam Asian Times Online, menyebut sepak bola sebagai ”Agama monotheisme terbesar di dunia”.

Ironisnya, sepak bola itu semula justru dimaksudkan untuk melatih kekuatan, kecepatan dan ketangkasan para prajurit sebelum dikirim ke medan pertempuran. Menurut Bill Hutchison, dalam tulisannya ”The Essential History of Soccer” mensinyalir permainan sepak bola yang paling primitif sudah dikenal oleh tentara China pada masa Dinasti Han, sekitar abad ke tiga dan kedua  sebelum Masehi. Tetapi negara Enggris lah yang dianggap sebagai tempat lahirnya sepak bola modern. Proses untuk sampai pada bentuknya yang modern itu sangat berliku. Pernah pertandingan sepak bola dijadikan ajang perang sungguhan antar penduduk yang bermusuhan. Sekitar abad  VIII ada pertandingan sepak bola yang bolanya menggunakan penggalan  kepala manusia. Yaitu kepala panglima perang musuh, seorang pangeran dari kerajaan Denmark yang dalam sebuah pertempuran pasukannya dikalahkan oleh tentara kerajaan Enggris. Lantaran brutalitas yang terkandung dalam sepak bola itu mendorong Raja Edward III pada tahun 1331 menetapkan undang-undang larangan pertandingan sepak bola, berikutnya Ratu Elizabeth I menerapkan undang-undang serupa dengan hukuman satu minggu dan kerja paksa di pusat pelayanan gereja bagi para pemain bola.

Keterkaitan antara perang dengan sepak bola juga bisa diamati dari istilah-istilah yang digunakan dalam permainan paling populer ini. Misalnya, defender, striker, wings, off side, front line, back line, captain adalah istilah yang digunakan dalam dunia pertempuran. Sebetulnya bukan hanya sebatas istilah saja bahkan doktrin permainan ini juga mirip doktrin pertempuran. Pemain sepak bola dan tentara sama-sama memiliki suasana mental yang didominasi oleh sikap pesimis dan pemikiran negatif.

Sebagai salah satu implikasi sikap pesimis adalah, baik pemain bola maupun tentara, sama-sama ”tidak berani” sendirian. Mereka harus bersama-sama. Satuan terkecil tentara adalah regu, antara 7-10 personnel, sementara satuan sepak bola adalah kesebelasan. Karena itu tidak ada sepak bola pemainnya hanya satu orang. Begitu juga tidak ada tentara maju ke medan perang sendirian, kecuali hanya dalam film ”Rambo” yang dibintangi oleh Silvester Stallone itu. Sekalipun film perang itu  sangat terkenal, konon sampai digemari oleh mendiang presiden Ronald Reagan, tapi dilihat dari teori militer ia adalah karya film perang yang paling bodoh dan konyol yang pernah dibikin manusia.

Karena sikap pesimistis itu maka baik pemain bola maupun prajurit harus membuang jauh-jauh sikap egosentris. Mereka harus menyadari bahwa kalah- menang, hidup-matinya sangat tergantung kepada anggota yang lain. Karena itu baik sepak bola maupun prajurit sama-sama bersandar pada kesetiaan korps yang ditunjang oleh disiplin tinggi. Talenta dan kekuatan individual memang sangat diperlukan baik dalam kesebelasan maupun satuan tempur, tetapi kalau itu menjelma menjadi egosentrisme dan mengalahkan solidaritas dan disiplin korps akan menjadi tidak ada artinya bahkan bisa membahayakan. Dalam laga piala dunia ini dapat disaksikan, kenapa kesebelasan yang bertabur  bintang tetapi penampilnya hingga saat ini, –meski lolos putaran berikutnya– mengecewakan. Misalnya yang terjadi dalam kesebelasan Enggris. Beckham, de facto bukan satu-satunya kapten di kesebelasan “Three Lions”. Ada Gerald (Liverpool), Neville (Manchester United), Terry (Chelsea). Masalahnya mereka adalah kapten di club asalnya dan masih merasa tetap menjadi kapten di dalam kesebelasan Enggris.
Pemain bola dan tentara sama-sama berpemikiran negatif dominan. Implikasi psikologis yang paling  normal dari pemikiran ini adalah selalu waspada, hati-hati, penuh kalkulasi,  sedang upnormalnya adalah sikap menjadi serba curiga dan paranoia. Pemain bola maupun prajurid memang seharusnya selalu waspada bahkan sering-sering curiga, bukan hanya kepada gerak gerik lawan yang harus selalu dimaknai sebagai ancaman, bahkan teman sendiri pun harus dicurigai, jangan-jangan ia membuat kesalahan. Karena betapa kecilnya suatu kesalahan, adalah sangat berbahaya. Karena hal itu bisa berarti peluang bagi lawan untuk menghancurkannya. Bagi pemain bola, hal itu bisa berarti terciptanya gol oleh lawan, sedang bagi tentara bisa berarti kematian.

Dalam sejarah piala dunia, event ini tidak jarang dibayang-bayangi oleh perang dan konflik, baik yang sedang, maupun yang telah lama terjadi. Dalam piala dunia kali ini, misalnya, tatkala kesebelasan Potugal berhadapan dengan Angola, ada bayang-bayang sejarah konflik masa lalu antara Portugal sebagai penjajah dengan Angola sebagai yang terjajah. Dalam Piala Dunia 1986, tatkala kesebelasan Argentina mengalahkan kesebelasan Enggris pada babak perempat final, bagi rakyat Argentina seakan kekalahannya dari Enggris dalam perang Malvinas terbalaskan. Jika dalam ajang Piala Dunia ini kesebelasan Enggris bertemu kesebelasan Argentina kembali, dugaan saya kenangan Perang Malvinas juga masih akan muncul kembali.

Keikutsertaan Iran dalam piala dunia kali ini disambut aksi demontrasi  oleh  komunitas Yahudi dan simpatisannya yang memprotes pernyataan presiden Iran, Ahmadinejad yang anti Semit. Tetapi sebaliknya kesebelasan Iran memperoleh dukungan sangat besar dari kalangan Neo Nazi di sana.
Piala Dunia kali ini sebetulnya juga dibayang-bayangi oleh perang. Setidak-tidaknya perang  pernyataan, antara presiden Bush dengan Ahmadinejad mengenai masalah program nuklir Iran.  Sayang kesebelasan Iran dan Amerika Serikat tidak berada dalam satu group. Dan keduanya sama-sama terpental pada putaran pertama. Seandainya kedua kesebalasan bisa bertemu dan Ahmadinejad jadi datang memberi dukungan bagi kesebelasan negaranya, sementara George W Bush tidak mau tinggal diam juga datang memberi dukungan kepada kesebelasan Amerika Serikat, tentu pertandingan Iran melawan Amerika Serikat akan sangat seru. Bisa lebih seru dibanding babak finalnya. Dan mungkin Bush pun tidak lagi bersemangat akan menyerang Iran, karena syahwat agresifnya telah terlampiaskan di medan Piala Dunia.


Rabu, 02 Mei 2012

Tragedi Bahasa Indonesia: SMS dan Facebook


Oleh : David Efendi

Tulisan ini muncul karena tergelitik oleh fenomena kekacauan bahasa Indonesia yang digunakan oleh anak-anak muda baik di Handphone atau bahasa status, komen dan chating di Facebook. Rasanya semua persoalan ini nampak dramatis bergerak dan massif di dunia maya dan dalam kehidupan sehari-hari. Saya sendiri sering dibuat pusing akibat kesulitan memahami kode-kode bahasa baru ketika menerima sms dari anak kelas 3 SD. Begitu juga anak-anak SMA dan mahasiswa semester awal. Jika tidak ada upaya menghentikan ini, kita takut tragedi bahasa Indonesia akan semakin nyata. Kalau boleh berasumsi mungkin hanya 3% dari perbendaharaan kata yang sudah kita gunakan sehari-hari. Jika ditambah dengan persoalan ini tentu 3% itu sudah akan terancam. 


Beberapa tahun lalu, kasus ini pernah terjadi di Norwegia kemudian ada peraturan pemerintah tentang sanksi penggunaan bahasa yang tidak standar dalam komunikasi. Di Indonesia persoalan ini seola tidak banyak mendapatkan perhatian luas. Dugaan saya, banyak anak-anak muda tidak terampil menggunakan bahasa Indonesia secara baik. Kata-kata yang diungkapkan pun tidak beragam dan monoton bahkan huruf-huruf baku dalam bahasa Indonesia diganti ejakan dan gaya tulisan versi baru. Ini tentu akan memberikan dampak pada kualitas kebiasaan menulis dan membaca para peserta didik dalam jangka panjang.

Ada beberapa contoh kata-kata yang sering dipakai dalam bahasa status dan Sms. Misalnya: kata "Iya" ditulis "Ea," "dan" ditulis "en", kata "masukannya" ditulis dengan "masuxaxa", "maksud" ditulis "maksut", "setuju" diganti "s7" atau "86", dan seterusnya. Kita bisa membayangkan betapa rumitnya kalau itu semua kemudian ditulis dalam bahasa komunikasi ilmiah. Aktifitas menulis sehari-hari dengan kerancauan kata-kata ini jelas lambat laun akan menjadi gaya tersendiri entah itu akan emnjadi popoler, gaul dan keren. Sementara teman-teman yang menggunakan bahasa baku dianggap tidak efektif dan terlalu formal. Di sinilah saya kembali berfikir tentang apakah ini pertanda revolusi komunikasi baru yang diciptakan oleh generasi baru untuk emnciptakan komunikais efektif. Hal ini juga dipicu oleh keterbatasan karakter dalam pesan facebook. Untuk menghemat biaya tentu penyingkatan kata-kata itu perlu. Tetapi kenapa tidak menggunakan singkatan yang sudah baku seperti "dengan" ditulis dengan "dgn", "kerena" ditulis "krn", "sebab" ditulis "sbb", tetapi bahasa sms "karena" diganti "coz" atau "cuz",dan sebagainya. Atau memang harus ada revolusi singkatan/abreviation ini? perlu ada pembaharuan singkatan (shorthening, abreviation).

Gejala serupa juga terjadi di negara dengan berbahasa Inggris atau bahasa lainnya. Bahasa sms identik dengan bahasa pembuatan singkatan, pemendekan, omisi, kapitalisasi (huruf besar) secara acak, dan pencampuran dengan antara huruf dengan angka dan simbul-simbul. Misalnya di wikipedia ada semacam kamus sms (SMS dictionary) yang mencantumkan kata-kata populer sehari-hari seperti tersebut di bawah ini.
As far as I remember =AFAIR;  Love= LUV; Thanks= THNX; Today =2day; Before= B4; Have a nice day =HAND; See you= C U; So what’s your problem? =SWYP; At @; Tears in my eyes TIME; Sealed with a kiss SWAK; Keep it simple, stupid =KISS;  Such a laugh= SAL; At the moment ATM ;Parents are watching= PAW ;Random act of kindness= RAK; Please reply= RSVP; Second SEC; You’re on your own YOYO; As soon as possible =ASAP; Hugs and kisses= HAK or XOXO; dan sebagainya. Begitu juga dalam bahasa Indonesia dengan tingkat kerumitan yang berbeda dari kamus umum populer ini. 

Dalam bentuk kalimat misalnya: "b3N3R juga, DaViD. 4kU 5e7 5aMa P3nDaPaTmU 5ek4RaN9 baH4sA iNd0e5i4 m3NgaLaMi K3MunDuR4N, teRuTaM4 s3TeLaH muNcUL b4H4Sa aL4Y di K4LåN9aN R3Majå m3TroPølitAN. B3TuL eA...? :D" atau yang lebih singkat: "yøi m4s Bro! t3nt4n9 b4HaSa NorW3i tak Gol3kki Sik Yo..". Untuk membaca ini saya membutuhkan waktu 3 kali lipat lebih lama dari membaca dalam bahasa 'normal'nya. Mungkin sebaliknya, bagi yang terbiasa akan lebih cepat 3 kali lipat dibandingkan dengan membaca dengan karakter yang standar EYD (Ejakan yang Disempurnakan) dalam bahasa Indonesia. 

Akibat? (Asumsi)
Mungkin belum banyak peneliti menulis akibat persoalan ini. Sejak beberapa tahun lalu nilai mata pelajaran bahasa Indonesia dalam ujian nasional seringkali menempati posisi yang rendah. Ini terjadi semenjak belum ada tekhnologi hanphone, FB, dan sms. Ketika bermucnulan perangkat tekhnologi prestasi bahasa Indonesia ini tidak berkunjung membaik bahkan dirasakan memburuk. Mungkin data perlu ditunjukkan dengan mengetahui semua nilai mata peajaran bahasa Indonesia di ujian ansional lalu dikomparasikan dengan mata pelajaran lainnya. Asumsi saya, kerancauan bahasa SMS ini turut mempengaruhi kecepatan membaca dan ketelatenen. Ketika orang terbiasa membaca kata singkat lalu membaca kata baku dalam soal-soal ujian maka berpengaruh pada kelelahan yang terlalu cepat. 

Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran dengan nilai paling rendah pada ujian nasional SMA/SMK 2010. Di Surabaya, sebanyak 230 siswa kelas XII SMA gagal dalam UN. Dari jumlah itu 110 siswa harus mengulang mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sementara siswa SMK, sebanyak 897 dari 1.297 siswa SMK harus mengulang UN pada mata pelajaran Bahasa Indonesia (Kompas, 28/4/10). Seperti yang dilaporkan oleh Kompas bahwa dilihat nilai rata-rata siswa, Bahasa Indonesia umumnya menjadi mata pelajaran dengan nilai terendah. Nilai rata-rata UN Bahasa Indonesia siswa SMA/MA jurusan IPA se-Jawa Timur hanya 7,54, sementara nilai Matematika umumnya tinggi rata-rata 8,60. Kasus ini hanya sample tetapi kecenderungan secara nasional memang demikian.

Pada tahun 2011 Majalah Tempo melaporkan fakta bahwa rata-rata nilai akhir ujian nasional sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) mata pelajaran bahasa Indonesia berada di urutan terakhir. Dibanding mata pelajaran lainnya, rata-rata nilai bahasa Indonesia terbawah, yaitu 7,49 dengan nilai terendah tak sampai 1,00 hanya 0,80 dan tertinggi 9,90. Angka itu lebih rendah dibanding rata-rata nilai mata pelajaran matematika, yaitu 7,50, dengan nilai terendah 0,80 dan nilai tertinggi mencapai nilai sempurna, 10,00. Adapun mata pelajaran IPA, rata-rata nilainya 7,60 dengan nilai terendah 1,00 dan tertinggi 10,00. Sementara itu, nilai rata-rata bahasa Inggris justru di peringkat teratas, berselisih 0,16 angka dari bahasa Indonesia, yaitu 7,65 dengan nilai terendah 0,90 dan nilai penuh untuk nilai tertinggi.

Tidak hanya itu, harian Umum Haluan Riau 3 Mei 2010 menyebutkan bahwa dalam catatan Data Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas, dari total 1.522.162 peserta UN SMA/MA 2010, sebanyak 154.079 siswa harus mengulang karena tak lulus Bahasa Indonesia (dikutip dari sebuah opini di Kompasiana.com).

Jika melihat data yang diberitakan Kompas, jelas bahwa Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran UN yang dianggap paling jeblok dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Jebloknya mata pelajaran Bahasa Indonesia perlu dievaluasi, sebenarnya yang salah siapa? Betulkah soalnya sangat sulit, ataukah siswanya sendiri yang menganggap enteng Bahasa Indonesia? Apakah guru Bahasa Indonesia yang salah dalam menyampaikan materi, kurikulumnya? Ataukah sistem pendidikan hingga menjadikan nilai UN Bahasa Indonesia di Jawa Timur terperosok? (Susilo Mansurudin, 2010).

Menteri Pendidikan membuat kesimpulan penyebab ini semua adalah karena siswa dituntut mendalami makna dan menjawab cepat dalam ujian bahasa Indonesia, sementara banyak kemiripan dalam pilihan jawaban yang tersedia. Sementara menurut Mansyur Ramli, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, hal ini lebih disebabkan  siswa kurang piawai membaca cepat sedangkan mayoritas soal diawali dengan soal bacaan. Saya sendiri mencurigai salah satu faktor adalah kekacauan praktik bahasa Indonesia dalam tulisan dan percakapan sehari-hari.

Catatan Kaki
Persoalan ini layak menjadi perhatian bagi negara, orang tua, guru, murid, dan peserta didik untuk mengantisipasi tragedi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mempunyai kekayaan kata-kata yang luar biasa namun karena kemalasan menggunakan kata-kata etrsebut maka makna percakapan dan ungkapan sehari-hari menjadi sangat monoton dan tidak berkembang. Pilihan kata yang menarik diganti dengan sandi-sandi baru yang diciptakan oleh sekelompok anak muda yang memang mencari sesuatu yang sensasional. Namun demikian, perlu ada riset mendalam mengenai pengaruh "budaya Pol" atau bahasa gaul dalam tradisi menulis sms dan status FB terhadap tradisi membaca dan menulis di kalangan anak muda, juga terhadap kemampuan menjawab masalah dalam ujian bahasa Indonesia. Wallahu alam.

Sumber:
1. http://www.sunan-ampel.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=566%3Abahasa-indonesia-terendah-salah-siapa&catid=79%3Apendidik.
2. http://www.tempo.co/read/news/2011/06/04/079338577/Nilai-Bahasa-Indonesia-Ujian-Nasional-SMPMTs-Hancur.
3. http://en.wikipedia.org/wiki/SMS_language.
4. http://www.youtube.com/watch?v=srzxgnGroO8.
5.http://nasional.kompas.com/read/2008/05/18/18493818/rendah.minat.mempelajari.bahasa.indonesia.
6.http://edukasi.kompas.com/read/2011/06/08/08303240/Mengapa.Nilai.UN.Bahasa.Indonesia.Rendah
7.http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/18/mau-nilai-un-bahasa-indonesia-lebih-baik-ajak-para-guru-bahasa-indonesia-dolan-ke kompasiana/
8.http://nasional.kompas.com/read/2008/10/30/21492391/Tinggi.Minat.Asing.Belajar.Bahasa.Indonesia
9.http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/24/1331355/Bahasa.Indonesia.Dinilai.Terlalu.Sulit.
10.http://sawali.info/2011/06/13/fenomena-nilai-un-bahasa-indonesia-smp-tahun-2011/

Honolulu, April 29 2012