Selasa, 05 Juni 2012

Fungsi Baru Ujian Nasional

Dipublikasikan Oleh Tempo, 5 Juni 2012


Pemerintah semestinya tidak terburu-buru memutuskan hasil ujian nasional sekolah menengah atas sebagai syarat masuk perguruan tinggi negeri. Banyak hal yang harus dikaji menyangkut keputusan yang akan berlaku tahun depan itu. Misalnya, mesti diperhitungkan, karena ujian nasional merupakan alat ukur pencapaian (achievement), parameternya tentu berbeda dengan ujian tes masuk yang dirancang sebagai alat prediksi kemampuan (predictive test).

Yang tak kalah penting adalah keputusan itu jangan mematikan hak otonomi perguruan tinggi. Kebebasan melakukan seleksi mahasiswa baru adalah bagian dari kebebasan akademis perguruan tinggi. Kebebasan ini selayaknya dijaga. Itu sebabnya, jika ujian nasional menjadi ukuran kelulusan tes masuk, tak boleh diperlakukan sebagai satu-satunya parameter. Tiap perguruan tinggi harus tetap dibebaskan membuka jalur seleksi sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana berlaku sekarang.

Memang ada beberapa keuntungan jika hasil ujian nasional digunakan sebagai alat tes masuk. Pertama, kualitas hasil ujian nasional kini makin baik dan merata. Selain tingkat kelulusan yang makin tinggi, hasil bagus tak lagi didominasi sekolah-sekolah dari kota besar. Dengan kualitas yang membaik, standardisasi mutu pun membaik. Itu berarti, jika hasil ujian nasional digunakan sebagai alat ukur tes masuk, risiko hanya murid dari kota besar yang bisa lolos masuk perguruan tinggi negeri jadi minimal. Aspek pemerataan pun terpenuhi.

Kedua, penghematan. Tak perlu lagi melakukan seleksi masuk skala besar seperti yang selama ini terjadi. Calon mahasiswa pun bisa mengukur kemampuannya. Jika hasil ujian nasional buruk, tak perlu berkeras ikut seleksi di perguruan tinggi negeri atau fakultas favorit.

Namun semua kelebihan itu bukanlah jaminan seleksi masuk berdasarkan hasil ujian nasional akan menghasilkan mahasiswa yang otomatis layak belajar di perguruan tinggi. Bagaimanapun perguruan tinggi bukanlah "perpanjangan linier" jenjang pendidikan di tingkat SMA. Di SMA, kurikulum akademik dirancang untuk menghasilkan siswa yang memahami pengetahuan secara umum. Mereka tidak diharapkan menjadi spesialis, karena jalur untuk itu ada di perguruan tinggi. Sebaliknya, di perguruan tinggi, kurikulum didesain berdasarkan kebutuhan yang lebih khusus. Maka parameter kelayakan masuknya pun tentu saja berbeda.

Untuk alasan itu pula, beberapa perguruan tinggi negeri masih sangat terbatas dalam menerapkan penerimaan mahasiswa berdasarkan prestasi akademis di SMA. Penerimaan melalui proses "jalur undangan" atau penelusuran minat dan kemampuan ini biasanya dilakukan dengan seleksi khusus untuk mengetahui kemampuan serta minat calon mahasiswa. Persentase penerimaannya pun jauh lebih kecil dibanding jalur tes masuk biasa.

Tentu tidak berarti hasil ujian nasional sama sekali tak bisa dijadikan tolok ukur. Hasil itu tetap bisa dipakai, tapi harus digabung dengan tes masuk perguruan tinggi. Masing-masing hasil kemudian diberi pembobotan tertentu, misalnya 40 persen untuk hasil ujian nasional dan 60 persen untuk hasil tes masuk.

Melalui cara ini, pemerintah juga bisa lebih adil. Mereka yang hasil ujian nasionalnya tidak bagus tetap berpeluang masuk perguruan tinggi negeri asalkan mampu mengkompensasinya dengan mendapatkan nilai bagus dari tes masuk.