Sabtu, 31 Maret 2012

BBM, Demonstrasi, dan Banalitas Politik

Oleh : Ahmad Sahide



Kurang lebih satu minggu terakhir ini, Indonesia, di berbagai kota-kota besar, diwarnai dengan gerakan demonstrasi, terutama dari kalangan pergerakan mahasiswa. Hampir setiap hari kita disuguhi berita utama mengenai demonstrasi penolakan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mulai satu April besok. BBM pun menjadi menu obrolan setiap hari dari semua kalangan masyarakat, mulai dari masyarakat pada tingkatan bawah sampai pada tingkatan elite.

Banyak hal menarik sebetulnya yang harus kita catat dari polemik wacana menaikkan harga BBM tersebut, baik itu yang terjadi di jalanan maupun yang terjadi di dalam gedung Senayan sana. Catatan mengenai maraknya aksi yang anarkis di banyak kota-kota besar tempat berlangsungya aksi demonstrasi mahasiswa. Kegaduhan sidang Paripurna yang berlangsung kemarin siang yang berakhir tadi malam (Jum,at, 30 Maret 2012), dan wacana kembali retaknya kembali koalisi partai pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Boediono untuk yang kesekian kalinya.

Demonstrai Mahasiswa

            Dari hasil rapat Sidang Paripurna yang berakhir tadi malam, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya memutuskan harga BBM tidak jadi naik pada 1 April besok. Sikap Dewan ini boleh jadi karena melihat tekanan dari masyarakat yang jeritannya tersampaikan lewat demonstrasi yang dilakukan oleh teman-teman gerakan, baik itu gerakan mahasiswa maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Artinya bahwa gerakan mahasiswa dan LSM yang berteriak di jalan-jalan menjadi bermakna dalam membangun kultur politik yang demokratis. Di mana kultur demokratis yang penulis pahami adalah lahirnya kelompok-kelompok terdidik dalam masyarakat yang memiliki kekuatan untuk menekan dan mengontrol pemerintah dalam pengambilan kebijakan publik. Dalam hal ini, demonstrasi yang marak terjadi di mana-mana, terutama satu minggu terakhir, telah memainkan peran itu.

            Apa yang telah dilakukan oleh teman-teman yang bergabung dalam dunia pergerakan, terutama pergerakan mahasiswa, harus diapresiasi, tetapi bukan berarti tanpa kritik dan kelemahan. Pertama, stigma yang tidak terpisahkan dari demonstrasi akhir-akhir ini adalah anarkisme. Dan itu terjadi di banyak tempat. Pergerakan mahasiswa akan semakin akrab dengan kekerasan dalam menyampaikan aspirasi rakyat banyak. Tentu banyak faktor sebab akibat dari semua ini, tetapi tentu sangat disayangkan jika ke depan kita akan semakin akrab dengan tindak kekerasan. Masyarakat kita akan ‘dididik’ dengan cara kekerasan. Indonesia pun akan berwujud menjadi negara anarkis. Politik kita anarkis, gerakan mahasiswa cenderung anarkis, dan masyarakat di mana-mana melakukan tindakan yang anarkis, perampokan, penculikan, pembunuhan, dan seterusnya. Seharusnya ini menjadi kesadaran bersama.

Anarkisme Dalam Senayan

            Penulis sempat mengikuti dan menyaksikan (lewat media) lobi-lobi politik sampai kemudian berlangsungnya rapat sidang Paripurna di Senayan tadi malam. Sebagai rakyat yang terwakili oleh masyarakat Senayan, penulis merasa miris melihat kelakuan para elite di Senayan yang katanya sedang memperjuangkan kepentingan rakyat. Cara mereka bersidang, melakukan interupsi, dan lain sebagainya tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat yang terdidik. Kelakuan mereka di dalam gedung istimewa itu ‘anarkis’ dan kurang lebih sama dengan kelakuan preman jalanan. Mereka berteriak, berkelakar sesuka mereka tanpa memedulikan etika di dalam forum. Kurang lebih sama dengan preman jalanan yang meneriaki lawan atau musuhnya. Begitulah kelakuan wakil kita di Senayan sana dalam memperlakukan dan meneriaki fraksi yang sikap politiknya berbeda dengan mereka. Sangat tidak mendidik. Dan banyak di antara mereka berteriak bukan untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil, tetapi teriakannnya untuk meraih simpati publik.

Entah sampai kapan wajah senayan yang anarkis dan mempertontonkan budaya politik yang banal ini akan berubah di gedung besar dan sakral tersebut. yang jelas dan harapannya masyarakat kita semakin terdidik dan cerdas sehingga bisa menilai setelah melihat langsung bahwa wajah Indonesia yang anarkis saat ini tidak hanya di jalanan, tetapi juga di dalam gedung tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat. Semoga ini juga menjadi pejalaran bagi rakyat ke depannya untuk tidak memilih para ‘preman politik’.

Lapsi selenggarakan Diskusi Terbuka


Sikap pemerintah yang berencana untuk menaikkan harga BBM menyulut gelombang reaksi luar biasa dari masyarakat. Sikap pemerintah ini sempat direspon secara agresif, hingga pada 30 April 2012 pemerintah membuat keputusan untuk menunda menaikkan harga BBM.

Melihat polemik ini, Lapsi mengadakan diskusi (31/03/2012) di Kantor Lapsi, dengan Tema “Kenaikan Harga BBM antara Pro dan Kontra : Sebuah Dilema”.  Ahmad Sahide, S.IP, MA selaku pembicara mengawali diskusi ini dengan mengutip pendapat Arni Sabit “Negara(Indonesia) tidak bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat”.

Persoalan BBM bagi Sahide, bukan sekedar naik atau turun, tapi lebih pada persoalan bagaimana Pemerintah menjamin kesejarhteraan bagi masyarakat. Akhirnya isu kenaikan harga BBM hanya menjadi ajang mendapatkan simpati publik. masyarakat yang hanya fokus pada naik atau turunnya harga BBM  akan menjadi objek dari Politik Pencitraan.

Persoalan lain yang juga diungkap oleh Sahide adalah minimnya argumentasi rasional dibalik penolakan kenaikan harga BBM. “Argumentasi rasional biasanya Cuma dibangun oleh pengamat saja tapi belum sampai pada masyarakat umum, kalau sudah begini, mereka (masyarakat) rentan dengan pemanfaatan isu untuk menaikkan citra partai atau tokoh politik”.(FAS)