Senin, 23 April 2012

Human Safaris – Educational or Exploitative?

Oleh : Nancy Parode

Human Safaris in The News


pic : indiancountrytodaymedianetwork.com
In March 2012, Marco Werman, host of Public Radio International's "The World," interviewed Sophie Grig of Survival International. They discussed human safaris. Werman asked Grig about recent news stories concerning the Jarawa, indigenous inhabitants of India's Andaman Islands who have only had contact with outsiders for about a dozen years. Grig described the Jarawa as "a hunter-gatherer tribe," one that is threatened by "pressure from outsiders" and "exploitation," including "human safaris," tour groups that travel through the Jarawas' rain forest homeland – a protected reserve – in hopes of seeing the Jarawa. Grig compared the tours to "viewing animals in a zoo" and mentioned that tourists throw cookies and candy at the Jarawa to convince them to come out into the open. In some cases, tour operators have apparently bribed police officers to allow them to bring tourists to places where they can photograph or film the Jarawa. In one instance, a group of police officers herded a group of Jarawa into a particular area so that a tour group could see and photograph them.

Two months earlier, in January 2012, three tour operators offering tours to Bonda tribal villages in the Indian state of Orissa (Odisha) were charged with violating laws prohibiting use of "objectionable" material to promote tours. All three companies offered tours to Bonda villages. Although many tour operators have removed their tribal tours information from their websites, a recent search by this writer revealed that Tribal India Tours offers tours that allow vacationers to "visit approximately 6000 members of the fierce Bondas (naked people). They live in the remote hills and keep themselves isolated." Until late March 2012, Orissa Tourism promoted an Odisha (Orissa) Tribal Tour on its website that offered a "photo session" with "Bondos [sic]" and "Didayis." Sonata Travels offers "Tribal Tour Orissa," featuring a visit to a Muria Gond tribal village. The tour description includes information about tribal dress: "The dress of Maria [sic] women consists of a white skirt with the upper portion of the body being left bare; and the men wear loin cloths and turbans which are often adorned with long strings of beads wound several times around combs," which leads one to wonder why most guidebooks to New York City and Berlin fail to mention details of native dress.

While tour operators like these clearly demean native tribes by trotting out individuals for photo opportunities and using titillating words to entice vacationers to book an Orissa trip, there is a larger issue that should be considered, namely, whether "human safaris" and "poverty" or "slum" tourism offer any benefits at all.

What Is a "Human Safari"?

In its broadest sense, a "human safari" is an organized tour that takes visitors to a place where they can observe "locals" or "natives" in their indigenous settings. There can be a fine line between cultural tourism and human safaris. True cultural tourism offers an opportunity for interaction, perhaps alongside shopping opportunities, foodways demonstrations or craft lessons. Human safaris focus on the opportunity to see, photograph and video local people in an exploitative manner; for example, a tour that takes vacationers to a tribal village, encourages vacationers to bribe locals with food or money to perform a dance and permits the vacationers to film the entire experience would definitely fall into the "human safari" category.

On a smaller scale, one might classify certain church tours or individual visits to gospel churches in Harlem, New York, as human safaris, particularly if participants visit a Sunday worship service solely to listen to the choir for a short while, take photographs and leave rather than to participate in the entire church service.

Ethics of Human Safaris

There are few, if any, reasons to recommend a human safari to anyone. Human safari operators exploit people who may wish either to continue their traditional way of life or to avoid contact with other cultures, often for a profit. Human safari operators sometimes blatantly disregard local laws designed to protect indigenous peoples from exposure to disease, unwanted outside influences and exploitation. Local residents lose the opportunity to determine for themselves how much contact they wish to have with tourists and other visitors when human safari operators bring busloads of people onto their tribal lands.


Senin, 16 April 2012

Jelang UNAS, LaPSI dan PW IPM DIY Motivasi Siswa SMK Muhammadiyah 1 Moyudan


Menjelang Ujian Nasional, SMK Muhammadiyah 1 Moyudan, mengundang PW IPM DIY dan Lapsi untuk memberikan motivasi bagi siswanya. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut, yakni pada tanggal 7, 10, 11 April 2012, disambut antusias oleh segenap pihak Sekolah.

Ujian Nasional menjadi momok tersendiri bagi setiap siswa. Kerja keras selama tiga tahun akan diuji diatas lembaran-lembaran Ujian Nasional. Rasa gugup dan takut menjelang Ujian Nasional adalah hal yang lumrah bagi siswa.

Acara motivasi siswa SMK Muhammadiyah 1 Moyudan ini diharapkan dapat memberikan efek kepada siswa peserta Ujian Nasional.

Fida Afif selaku salah-satu motivator dari kegiatan ini mengatakan bahwa sudah seharusnya Ujian Nasional perlu direvisi lagi, mengingat Ujian Nasional yang seakan tidak sesuai dengan  apa yang sebenarnya harus dicapai oleh siswa.

“harapannya ujian nasional segera diformat sesuai dengan need assement pelajar Indonesia. Pelaksanaannya juga perlu mendapatkan perhaian penuh dari semua pihak yang terlibat dalam pendidikan sehingga tekanan mental siswa yang mengikuti ujian Nasional dapat terkontrol”.

“Meski begitu, tanggung jawab untuk terus memberikan dorongan dan dukungan kepada siswa peserta Ujian Nasional juga tidak boleh diacuhkan”.

Ketika ditanya mengenai apa yang paling berkesan dari kegiatan ini, Fida Afif menambahkan.

“yang paling lucu dan berkesan itu adalah ketika siswa yang kami minta untuk menuliskan berapa nilai yang mereka harapkan dari hasil ujian nanti. ternyata semuanya optimis mendapatkan nilai sempurna”. Tutupnya. (FAS)

Kamis, 12 April 2012

Dan negara terbaik di dunia adalah ..... ?

Oleh : Dr. Bambang Indriyanto
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud 



Majalah Newsweek yang terbit tanggal 23 Agustus 2010 menurunkan suatu laporan yang sulit dipahami maknanya tetapi sangat menarik untuk disimak. Pada cover depannya tertulis the best country in the world is…. Pada awal artikel tertulis ungkapan yang tidak kalah menariknya yaitu “forget the world cup, the olympics, even the miss universe pageant. Theses are globe’s true national champions”.

Untuk menjadi negara yang terbaik di dunia memang tidak harus menjadi pemenang sepak bola pada World Cup seperti yang baru saja diselenggarakan oleh FIFA di Afrika Selatan, atau menjadi juara umum pada event olahraga dunia bergengsi sekalipun sekelas olimpiade, atau mempunyai ratu kecantikan dunia. Untuk menjadi negara terbaik sangat berkaitan dengan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran warga negaranya.

Survai yang dilakukan majalah Newsweek bekerjasama dengan ahli kelas dunia seperti Joseph E. Stiglitz pemenang Nobel Ekonomi yang juga dosen Ekonomi di Columbia University, Jody Heymann, Direktur McGill University’s Institute for Health and Social Policy dan juga dosen pada McGill University, serta Geng Xiao, Direktur Brookings-Tsinghua Cencter for Public Policy di Beijing. Survei ini memusatkan pada national-well being yang meliputi empat indikator yaitu, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, lingkungan politik, dan daya saing ekonomi suatu negara. Penduduk dari negara ini ditanyai tentang pendapat mereka tentang kondisi keempat indikator tersebut.

Hasil Survei

Hasil dari survei ini menyajikan national well-being 100 negara dari banyak negara yang disurvei. Finalandia menduduki urutan pertama berdasarkan pada empat indikator tersebut. Negara-negara Eropa mendominasi urutan sepuluh besar. Negara Swis berada pada urutan kedua, Swedia pada urutan ketiga, Luxemburg pada urutan kelima, Norwegia pada urutan keenam.

Negara di luar benua Eropa yang berada pada sepuluh besar adalah Australia pada urutan keempat dan Kanada pada urutan ketujuh, dan Jepang pada urutan kesembilan. Dan Indonesia berada pada posisi 73. Negara Asia yang berada di bawah Indonesia adalah India dan Vietnam masing-masing pada urutan ke 78 dan 81. Malaysia, Thailand, Philipina jauh berada di atas Indonedia masing pada urutan ke 37, 58, dan 63. Jangan ditanya Singapura berada pada urutan ke berapa?. Negara ini menduduki urutan ke 20.
Jika kesehatan dan hidup layak dijadikan sebagai indikator kualitas maka hasil survai menunjukkan, bahwa diantara negara yang padat penduduk, Jerman menduduki urutan pertama, dan Amerika Serikat mendukduki urutan kedua, Perancis ketiga, dan dan Turki menduduki urutan ke sepluh, sedangkan Thailand berada pada urutan kesembilan. Indonesia tidak termasuk pada urutan sepuluh besar.

Berdasakan pada layanan pendidikan, Finlandia menduduki urutan pertama, dan negara-negara Asia yang menonjol adalah Korea Selatan, Singapura, dan Jepang. Masing-masing menduduki posisi kedua, keempat, dan kelima. Ketiga negara ini mengungguli negara maju seperti Swis urutan ke keenam, Inggris urutan ke delapan, dan Belanda urutan kesepuluh. Pada kriteria ini Indonesia juga belum masuk dalam urutan sepuluh besar.

Refleksi

Survei ini menyajikan banyak lagi hasil yang menarik untuk disimak. Namun tulisan tidak akan menyajikan hasil tersebut. Tetapi yang lebih penting apa pelajaran yang bisa ditarik dari hasil survei tersebut setelah Negara Indonesia telah menginjak usia ke 65 tahun?. Sampai dengan saat ini kita masih bergelut dengan permasalahan kemiskinan, korupsi, kurangnya infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemacetan lalulintas, dan berbagai masalah lain saling terkait satu dengan lainnya.

Presiden SBY menyatakan bahwa saat ini kita telah memasuki reformasi tahap kedua. Apakah makna dari hal itu?. Makna yang utama adalah saatnya untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran anggota masyarakat tanpa terkecuali. Keberhasilan suatu pemerintahan tidak lagi diukur dengan keberhasilan pemberantasan korupsi, rekonsiliasi antar partai politik, atau reformasi birokrasi. Hal tersebut merupakan target antara agar pemerintah dapat melaksanakan program pembangunan di berbagai bidang secara transparan dan akuntabel untuk memberikan layanan pendidikan dan kesehatan secara bermutu dan merata kepada semua warga negara, serta untuk dapat memberikan lapangan pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan keahlian setiap lapisan masyarakat Indonesia.

Disamping itu, hasil survai ini menjadi isyarat bahwa keberhasilan pelaksanaan program pembangunan tidak diukur berdasarkan kriteria yang ditetapkan secara sepihak oleh perencana program pembangunan. Keberhasilan program harus diukur berdasarkan pada tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil pelaksanaan program tersebut. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat menjadi dasar empiris untuk menyusun suatu program pembangunan, apapun bidangnya. Bukankan keberadaan pemerintah ditujukan untuk melayani wargannya?.

Penetapan benchmark perlu dilakukan. Fungsi dari benchmark, paling tidak ada dua. Pertama untuk menjamin bahwa progam pembangunan berada pada rel yang benar. Kedua, untuk mengukur seberapa tingkat ketercapaian program pembangunan.

Terdapat tiga strategi untuk menentukan benchmark. Strategi yang pertama adalah internal benchmarking. Strategi ini dilakukan dengan menetapkan benchmark berdasarkan pada tingkat ketercapaian program pembangunan pada periode sebelumnya. Strategi ini efektif jika suatu negara tidak belum cukup yakin untuk bersaing dengan negara lain. Kelemahannya adalah tanpa terasa kita akan merasa betapa tertinggalnya negara kita dibanding dengan apa yang sudah dicapai oleh negara lain. Strategi kedua adalah external benchmarking. Strategi ini dilakukan dengan merujuk pada apa yang sudah dicapai oleh negara lain. Jika pemerintah Indonesia sudah siap untuk bersaing dengan negara lain saatnya untuk menetapkan external benchmarking.

Strategi ketiga adalah generic benchmarking. Strategi ini hanya dilakukan kalau memang suatu pemerintahan tidak mempunyai sumber daya yang memadai untuk mencapai benchmark yang ditetapkan. Oleh karena itu strategi ini merupakan pilihan terakhir.

Ketika pemerintah telah menetapkan suatu strategi benchmark, terdapat dua langkah yang harus ditempuh. Langkah pertama adalah rekonsiliasi politik antara legelatif di satu pihak dan ekskutif di lain pihak, dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Rekonsialiasi ini dimaksudkan menyamakan benchmark dan langkah untuk merealisasikannya.

Langkah kedua adalah langkah manajemen. Langkah ini didahului dengan suatu perencanaan yang berdasarkan pada kebutuhan nyata dan kemudian secara konsisten program tersebut dilaksanakan.Plan the work, then work the plan consistently. Kalau kita mau, kita bisa.


Rabu, 11 April 2012

Gerakan Amal Hibah Buku Nasional 2012

Satu Buku untuk Semua! itulah keyakinan yang perlu ditanamkan untuk berbagi pengetahuan dan masa depan sesama anak bangsa. Menginjak umur LaPSI (Lembaga Pengembangkan Sumber Daya Insani) yang ke-13, kami kembali mengajak masyarakat Indonesia untuk terus memberikan kontribusi atas pembangunan bangsa ini. Organisasi non-profit ini kembali meluncurkan program besarnya yaitu Gerakan Amal Hibah Buku Nasional yang ditujukan sebagai upaya pemerataan pengetahuan dengan membuka "bank buku" untuk membangkitkan kemunitas rumah baca di seluruh Indonesia. Program ini dimulai terhitung semenjak tanggal 1 April 2012.


Dari penelitian Taufiq Ismail (2003) dihasilkan kesimpulan dari sejumlah SMA yang ada di 13 Negara mewajibkan bacaan bukunya. SMA Thailand Selatan 5 judul, Malaysia 6 judul Kuala Kangsar, 3 SMA Singapura 6 judul, 4 SMA Brunei Darussalam 7 judul, Rusia 12 judul, Kanada 13 judul Canterbury, Jepang 15 judul, Swiss 15 judul, Jerman Barat 22 judul, Perancis 30 judul, Belanda 30 judul, Amerika Serikat 32 judul, AMS Hindia Belanda 25 judul, AMS Hindia Betarida 15 judul, SMA Indonesia 0 judul. Karena inilah kita semua termotivasi untuk terus bergerak melakukan perubahan menjadi lebih baik untuk bangsa ini. Lapsi mengajak semua orang, lembaga dan donatur untuk bersama-sama membangun negeri tercinta melalui menggerakkan budaya membaca.

KETENTUAN HIBAH BUKU

1. Buku tidak dibatasi lama, baru, dan judul tertentu
2. Buku dapat diambil oleh tim panitia LaPSI apabila terjangkau.
3. Buku dapat dikirim melalui pos kepada Fida Fida 'Afif dengan alamat : Jl. P. Rebo 119, Onggobayan RT 3, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia. CP. 0878383927366 (Fida Afif), email: lapsi_ppipm@yahoo.com.
4. Anda juga bisa memberikan dana melalui transfer/cash untuk membeli buku dan panitia akan mengirimkan nota/kuitansi pembelian buku yang sudah disepakati kedua belah pihak. Adapun no. Rekening Panitia; (1) No.Rek. 0249713509 BNI Syariah atas nama Fida Afif, dan (2) No. Rek. 9089611599 Bank Muammalat atas nama Fida Afif.

Terima kasih atas dukungan Anda. Berbagi ilmu, berbagi masa depan untuk kehidupan yang lebih baik.

Senin, 09 April 2012

Instrumen Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan Berpotensi Merugikan Siswa

Oleh : Syamsir Alam
Mantan Staf Teknis Puspendik, Balitbang Depdiknas 



Pic : ujiannasional.info

Ujian (Akhir) Nasional alias UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembina dan pengelola serta pelaksana pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat Ujian Akhir Nasional hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati.

Apabila sumber data ujian itu dipakai, pemanfaatannya pun hanya sebatas pada bahan kajian beberapa peneliti Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) untuk kepentingan cum jabatan peneliti; sedangkan para pejabat pengelola kebijakan pada tingkat pusat (direktorat, Puspendik, dan pusat kurikulum) hampir dapat dipastikan tidak akan menyentuh dan memperbincangkannya lagi sampai masa ujian berikutnya.

Keteguhan sikap Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) untuk tetap mempertahankan praktik UN pada sistem pendidikan menengah patut dihormati. Namun, pandangan dan pemikiran kritis terhadap praktik ujian akhir itu harus diutarakan agar sasaran yang dibuat dapat lebih proporsional, terarah, dan pencapaiannya dapat dimaksimalkan.

Meskipun praktik ujian akhir dapat digunakan untuk memengaruhi kualitas pendidikan, namun sebagaimana dikemukakan Ken Jones, asumsi dan rasionalitas yang digunakan pada high stake exams (seperti UN ini) pada umumnya sering bertentangan dengan kenyataan lapangan. Sebagaimana diketahui bahwa realitas pendidikan (sekolah) di Tanah Air sangat beragam, apakah itu sarana-prasarana pendidikan, sumber daya guru, dan school leadership. Diskrepansi kualitas pendidikan yang begitu lebar sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan pengelola pendidikan pada tingkat pusat, daerah, dan sekolah semakin menguatkan tuduhan masyarakat selama ini bahwa penggunaan instrumen UN untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) dan seleksi berpotensi misleading, bias, dan melanggar keadilan dalam tes.

Selain itu, instrumen UN yang akan digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut jawaban (baca: pembuktian), khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN (validity evidence).

Pemanfaatan ganda (multiple purposes) hasil skor ujian yang bersifat tunggal semacam UN sebenarnya menyimpan berbagai potensi permasalahan mendasar secara metodologis, yang sebenarnya sudah sangat diketahui dan dipahami jajaran Puspendik Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Namun, yang agak mencengangkan dan mengundang pertanyaan, mengapa potensi kesalahan seperti pemanfaatan hasil skor UN untuk berbagai keperluan dan tujuan secara bersamaan tidak dikemukakan secara jujur kepada masyarakat pemakai (users) produk pendidikan dan stakeholders. Kenapa Puspendik tidak mengusulkan pemanfaatan hasil skor UN hanya sebatas pada alat pengendali mutu pendidikan nasional, sebagaimana yang dilakukan pada National Assessment of Educational Progress (NAEP) di Amerika Serikat, dan bukan untuk penentuan kelulusan (sertifikasi), apalagi sebagai tujuan untuk seleksi dan memecut mutu pendidikan sehingga persoalan metodologi yang mungkin timbul dapat dihindarkan.
TULISAN ini ditujukan sebagai masukan konstruktif bagi Mendiknas yang berkaitan dengan konsep dan praktik penilaian pendidikan di Tanah Air. Ujian atau tes sebenarnya berfungsi sebagai alat rekam dan/atau prediksi. Sebagai alat rekam untuk memotret, tes biasanya diselenggarakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu materi atau sejumlah materi dan keterampilan yang sudah diajarkan/dipelajari sesuai dengan tujuan kurikulum sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah program pengajaran berikutnya.

Selain itu, tes juga bisa digunakan sebagai alat prediksi sebagaimana yang lazim digunakan pada tes seleksi masuk perguruan tinggi atau tes-tes yang digunakan untuk menerima pegawai baru atau promosi jabatan pada suatu perusahaan atau instansi pemerintah. Sebagai alat prediksi, hasil tes diharapkan mampu memberikan bukti bahwa seorang dapat melakukan tugas atau pekerjaan yang akan diamanatkan kepadanya. Apabila hasil tes yang digunakan mampu menunjukkan bukti terhadap peluang keberhasilan seorang kandidat mahasiswa atau calon pegawai melakukan tugas dan pekerjaan di hadapannya, tes itu diyakini memiliki kelayakan validity evidences.

Ujian atau tes sebenarnya hanyalah sebuah alat (bukan tujuan) yang digunakan untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan dan/atau yang akan diselenggarakan. Ujian atau tes tidak berfungsi untuk memecut, apalagi memiliki kemampuan mendorong mutu.

Namun, ujian atau tes memiliki kemampuan untuk memengaruhi proses pembelajaran di tingkat kelas sehingga menjadi lebih baik dan terarah sesuai dengan tuntutan dan tujuan kurikulum. Karena ujian hanya mampu memengaruhi pada proses pembelajaran pada tingkat kelas, maka pengaruh yang diakibatkannya tidak senantiasa positif. Sebaliknya, pengaruh itu dapat juga sangat bersifat destruktif terhadap kegiatan pendidikan, seperti apabila guru hanya memfokuskan kegiatan pembelajaran pada latihan-latihan Ujian Akhir Nasional atau pimpinan sekolah sengaja mengundang dan membiarkan Bimbingan Tes Alumni (BTA) masuk ke dalam sistem sekolah untuk mengedril siswa yang akan menempuh ujian akhir itu.

Dalam bahasa testing kegiatan itu disebut teaching for the test. Praktik pendidikan semacam itu sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum (curriculum contraction).
UNSUR yang paling pokok dan sangat penting yang harus diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat interpretasi hasil skor tes siswa peserta ujian adalah validitas. Konsep validitas ini sebelumnya dipahami sebagai sebuah konsep yang terfragmentasi sehingga sering mengantarkan praktisi penilaian pendidikan kepada kebingungan dan berpikir secara keliru.

Studi validitas dilakukan untuk membuktikan bahwa kegiatan interpretasi dan pemanfaatan hasil skor tes yang ada sudah sesuai dengan tujuan diselenggarakan ujian. Sebagai misal, apabila kita menyusun seperangkat tes kemampuan/keterampilan membaca yang digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan kelulusan (sertifikasi) SMA. Bagaimana cara kita menilai apakah proses interpretasi hasil ujian itu sudah dilakukan secara valid? Untuk keperluan itu kita harus membuat sejumlah pertanyaan, antara lain: apakah hasil skor tes itu sudah merupakan alat ukur yang sesuai dan tepat untuk tujuan di muka, yaitu untuk mengukur kemampuan/keterampilan membaca.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi ujian akhir adalah untuk memberikan sertifikasi bahwa siswa sudah belajar atau menguasai keterampilan membaca sebagaimana yang diminta pada kurikulum. Atas dasar itu, bukti-bukti validitas yang diperlihatkan harus mampu membuktikan bahwa skor yang diperoleh benar sudah mengukur keterampilan membaca, sebagaimana yang dijabarkan pada tujuan kurikulum.

Terdapat banyak sekali bukti yang harus dikumpulkan untuk melakukan kegiatan interpretasi terhadap hasil skor tes itu. Kita dapat menunjukkan bahwa instrumen tes yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan pelajaran keterampilan membaca pada kurikulum. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa jumlah jawaban yang benar pada soal tes betul-betul sudah sejalan dengan penekanan kegiatan pengajaran membaca pada kurikulum. Lebih dari itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa keterampilan membaca teks singkat yang tercermin dari kemampuan siswa menjawab dengan benar soal pilihan ganda itu memiliki kualifikasi yang sama apabila yang bersangkutan diberikan teks bacaan yang lebih panjang, atau membaca novel, artikel surat kabar. Kita juga harus mampu membuktikan bahwa konten bacaan yang disajikan pada soal tes sudah merupakan representasi dari isi bacaan yang dianggap penting dan challenging yang mampu menggali kemampuan/keterampilan membaca siswa yang lebih dalam dan ekstensif; jadi bukan hanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat superficial, faktual, atau trivial.

Apabila kita tidak mampu menunjukkan seluruh bukti di muka, validitas interpretasi yang dibuat terhadap hasil skor tes sangat lemah. Selain itu, kita juga harus mampu membuktikan bahwa skor yang tinggi yang diperoleh siswa bukan semata-mata sebagai akibat dari test wiseness, yaitu kemampuan siswa menjawab soal dengan benar sebagai akibat dari format soal pilihan ganda, tutorial khusus yang diberikan menjelang tes, seperti kegiatan bimbingan tes, menyontek, dan seterusnya. Lebih dari itu kita juga harus mampu menunjukkan bahwa skor rendah yang diperoleh siswa bukan hanya semata-mata disebabkan oleh faktor kegugupan pada diri siswa pada saat ujian. Selain itu, kita juga harus mampu menunjukkan bahwa latar belakang budaya siswa tidak membawa pengaruh terhadap kemampuan mereka menjawab soal tes dengan benar.

Semua faktor yang disajikan di muka dapat merupakan ancaman terhadap interpretasi validitas sebuah alat ukur yang bersifat tunggal (seperti pada UN) yang digunakan untuk mendeteksi kemampuan/keterampilan membaca. Apabila kita tidak mampu menunjukkan bukti (evidences), hasil ujian berupa skor tes untuk mengukur kemampuan/keterampilan membaca memiliki tingkat validitas yang rendah.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di muka bahwa kita harus mampu menunjukkan bukti dan penalaran yang logis untuk membuat keputusan pemanfaatan atas hasil skor tes. Untuk keperluan itu kita tidak bisa hanya berpatokan pada hasil satu kali studi dan mengklaim bahwa kita sudah memiliki tes valid yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/27/Didaktika/1838832.htm

Memperkuat Tradisi Membaca

Oleh : David Effendi



Pic : cookingareas.com

Sebagian besar orang di negera maju ingin membaca lebih banyak setiap harinya. Membaca sebagai salah satu aktivitas selain untuk kesenangan juga mencerahkan. Itu bisa membantu kita menjadi lebih banyak pengetahuan dan kesuksesan. Bagaimanapun, adalah satu aktivitas dimana banyak orang tidak terlibat dalam sangat banyak. Sesuai dengan 1999 National Household Education Survey, 50% dari AS. populasi berusia 25 lebih membaca satu surat kabar sedikitnya sekali se minggu, membaca satu atau lebih majalah secara teratur, dan telah membaca satu mencatat dalam masa lalu 6 bulan. Apa ini berarti? Ini berarti itu 50% populasi tidak membaca satu mencatat dalam terakhir enam bulan!

Penelitian menunjukkan bahwa jika anda membaca sepuluh buku satu tahun, anda adalah sedikit dari banyak orang sebagai pembaca. Mereka tidak sekedar membaca teks, tetapi kita benar-benar perlu ‘know-how’ untuk dimulai. Ada delapan langkah memperkuat kebiasaan membaca. Ini juga merupakan cara untuk menemukan dan membuat lebih banyak waktu untuk membaca.

Pertama, Selalu mempunyai sedikitnya satu buku di sekitar anda. Jangan pergi kemanapun tanpa materi bacaan. Menyediakan majalah atau cerita pendek di dalam kamar mandi. Selalu menyediakan buku bacaan di dalam tas kantor/sekolah/bekerja. Jangan lupa juga sediakan minimal satu buku di tempat tidur anda. Dengan begitu membuat anda lebih mudah mencuri waktu membaca.

Kedua, Pastikan jadwal membaca. Tentukan berapa banyak waktu anda untuk membaca buku/bacaan lainnya, termasuk apakah anda ingin membaca dengan terburu-buru. Gol Anda mungkin saja satu buku satu bulan, satu setiap minggunya, atau membaca 30 menit/hari. Jangan terlalu membuat jadwal yang memberatkan. Memulai kebiasaan membaca rutin walau lima menit sehari itu tentu menjadi bangunan yang kokoh dalam memperkuat tradisi membaca.

Ketiga, Daftar buku yang sudah dan akan dibaca. Hal ini dalam rangkah mempermudah mengingat apa yang sudah dibaca dan juga memprmudah jika mau berkunjung ke toko buku atau perpustakaan akan dengan mudah menemukan buku apa saja yang akan segera dibaca dan lebih-lebih untuk kegiatan menulis pasti dibutuhkan semacam catatan kecil sebagai daftar bacaan dan kutipan. anyakan teman dan kolega anda apa mereka sedang membaca. Menanti rekomendasi dalam surat kabar dan majalah. Sekali anda start mencari buku baik, anda akan menemui mereka di mana-mana. Hal ini adalah satu cara menjaga gairah mmebaca anda.

Keempat, Matikan televisi. Banyak orang mengatakan mereka tidak punya waktu membaca. Disadari atau tidak, televisi adalah satu konsumen waktu utama kita. Saatnya kita berpihak pada aktivitas membaca. Mulai kerja keras menggeser jam nonton yang berjam-jam itu menjadi aktivitas yang produktif yaitu membaca, membaca, dan menulis. Matikan TV adalah satu langkah revolusi besar untuk mengubah hidup anda.

Kelima, Dengarkan ketika anda tidak sempat/tidak bisa membaca. Pada saat anada di angkutan umum anda bisa mengusir kejenuhan dengan buku bersi audio. Mendengarkan buku masih bisa memberi anda pengalaman, ide-ide, inspirasi, dan imajinasi sebagaimana halnya membaca buku.

Keenam, bergabung dengan klub/komunitas pecinta baca atau buku. Komunita membaca biasanya bertemu sekali sebulan/seminggu untuk mendiskusikan buku best seller atau baru yang mereka sudah baca. Hal ini memberikan dorongan kepada kelompok yang punya waktu sedikit untuk membaca untuk lebih banyak lagi menyediakan wkatu untuk menyelesaikan ’memamah’ buku, dan juga mendapatkan inspirasi.

Ketujuh, mengunjungi perpustakaan atau toko buku se-sering mungkin. Anda mempunyai daftar bacaan? Demikian anda akan mempunyai beberapa ide-ide apa anda sedang masuk ke toko buku/perpustakaan. Ada banyak manfaat berjalan berkeliling bukan sekedar membeli/meminjam lalu pulang. Memerlukan banyak waktu untuk menjelajah! Memungkinkan mata anda menemukan hal-hal luar biasa, minat baru, ide baru dari sekumpulan cover buku yang mempunyai daya tarik luar biasa. Menjelajah akan memberi makan mental anda tentang perlukah waktu lebih banyak untuk membaca, dan memberi kita banyak motivasi baru untuk membaca. Makin banyak membaca makin erasa banyak hal yang tidak kita tahu. Yakinlah anda bukan sendirian dalam hal ini.

Delapan, Bangun strategi sendiri. Putuskan kapan waktu yang paling asik untuk membaca, sesuaikan target anda, jangan menunda-nunda membaca jika ada waktu, apalagi tergodo untuk nonton TV sementara buku yang setumpuk dibiarkan di sudut ruangan tanpa teman. Cara membaca adalah hal yang tidak seragam, ada yang suka membaca di toilet, kamar pribadi, tempat umum, dan sebagainya termasuk dengan sikap duduk, tengkurap dan berdiri. Tidak ada salahnya, dalam waktu yang sama kita punya beberapa buku yang kita baca secara bergantian agar tidak jenuh. Sama seperti makan, anda bisa pakai sendok, tangan, secara bergantian. Atau seperti anda saat ngemil bisa beragam makanan/toples di depan anda tanpa harus menghabiskan satu jenis makanan terlebih dahulu baru pindah ke makanan lain. Begitu juga membaca buku, bisa zig zag, bisa linear, dan bisa acak sekali. Percayalah dengan ide-ide anda dalam hal membaca, tidak ada yang salah, tidak ada ruginya. Yang rugi dan sangat tidak beruntung adalah teman-teman anda yang tidak punya hobi membaca atau tidak mencintai buku.

Di Barat ada istilah populer yang disebut DEAR atau drop everything and read. Artinya perlu kita sering-sering meninggalkan banyak pekerjaan/permainan/hura-hura yang kurang begitu manfaat untuk masa depan anda untuk kemudian melakukan aktivitas membaca sebanyak-banyaknya. Kalau tidak mulai sekarang kapan, kalau tidak kita yang melakukan, siapa? Ayo membaca untuk melakukan perubahan.

Dari "Revolusi Semut" Sampai Revolusi Gajah

Oleh : David Effendi
Mantan Ketua Bidang PIP PP IPM


Revolusi bisa saja terjadi dari alam pikir seorang individu lalu menular ke pada pikiran dan otak lainnya yang memang secara nalar compatible dengan gagasan dan rumor itu. Saya mencoba membangun argumentasi empirik yang seringkali memantik terjadi perubahan secara radikal. Perubahan radikal diawali dari dalam pikiran dan keyakinan. Beberapa contoh kasus bagaimana revolusi besar terjadi memang seringkali mengundang perdebatan tetapi mengambil cara pandang alternatif bisa menjadi hal yang perlu sebagai upaya mencari kebenaran-kebenaran lain di dalam kebenaran-kebanaran yang diyakini orang kebanyakan (ilmuwan) terkait apa, bagaimana, dan dalam keadaan apa sebuah perubahan paradigmatik dan fisik dapat terjadi.

Belajar dari Semut
Semut bisa menciptakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya bahkan lebih besar dari kemampuannya. Semut mempunyai tradisi rumor dimana semut itu seringkali berarngkulan dengan teman ketika bertemu sampailah pada terbentuknya jaringan yang menghubungkan antara satu individu dengan indvidu lainnya, satu individu dengan group,  group dengan group lainnya, tidak hanya di atas permukaan tanah tetapi juga underground. Dari sinilah revolusi dimulai.

Kasus Europe Spring dan Middle East Spring itu adalah salah satu ilustrasi penting bagaimana kita menjelaskan pemantik dari sebuah revolusi besar yang secara radikal mengubah struktur dan infrastruktur peradaban sebuah negara. Dari diktator menjadi demokratis, adalah klaim terjadi pemberadaban dan perubahan dramatis suatu fase masyarakat. Huntington membacanya melalui class of civilization dan lahirnya apa yang disebut gelombang demokratisasi yang percaya pada teori rumor dan gossip. Rumor dan gossip tentang indahnya demokarsi dan persamaan hak diwacanakan dari meja makan ke meja makan, warung-warung, kampus, seminar, dan sebagainya lalu menjadi 'agama' baru untuk mengganti tatanan lama. 

Tidak bermaksud mengatakan bahwa revolusi semut itu berdampak kecil sementara revolusi gajah mempunyai dampak besar. Indikasi sebuah dampak adalah bukan hanya dari akibat sebuah proses revolusi tetapi juga dilihat dari bagaimana kehidupan politik dan ekonomi pasca runtuhnya rejim lama. Jika hanya mengubah diktator lama menjadi diktator baru, lalu dampak positif apa yang hendak kita utarakan dari sebuah revolusi berbiaya tinggi? Revolusi semut yang sifatnya tidak langsung, kadang abstract, dan tidak nampak itu bisa jadi lebih baik untuk masyarakat karena biaya yang dieluarkan tidak besar---menjalani kepahitan untuk sebuah proses perubahan alamiah yang berjangka panjang (futuristik).

"Hipotesis" dan "Asumsi"
Saya tidak bisa mengklaim kebenaran bahwa revolusi besar selalu diawali dengan revolusi kecil. Namun asumsi-asumsi ini menguatkan kita pada satu kesimpulan 'logis' dan ilmiah. Kita akan mulai dari beberapa kasus yang paling terbaru. Pada revolusi politik yang terjadi di Tunisia (2011) diawali dari aksi seorang penjual buah yang membakar diri akibat suaranya tidak terdengar oleh pihak pemerintah yang memperlakukan buruk (polisi). Dia tidak mengorganisir dirinya kepada kelompok advokasi. Aksi ini kemudian disambut oleh aksi solidaritas baik di media online atau massa, solidaritas muncul di mana-mana. Aksi serupa juga bisa dikatakan terjadi di Mesir dengan skala pengorganisasian yang lebih matang karena memang belajar dari pengalaman Tunisia. Tetapi eksistensi diktator dan keinginan rakyat melepas keburukan rejim sama-sama ada sehingga bergerak pun cepat dan masif. Reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dipicu oleh kasus-kasus kecil kejahatan pemerintah dengan membiarkan korban diskriminasi, pemerkosaan, dan penculikan mahasiswa/aktifis. Lalu menjalar ditambah dengan situasi krisis ekonomi luar biasa. Elit pemerintahan mulai mundur dan inilah revolusi sedang dalam prosesnya.

Contoh kedua, pada saat revolusi kemerdekaan. Pembangkangan sipil terjadi juga akibat buruknya kehidupan dan pelakukan Belanda. Mereka membangkang juga akibat solidaritas terhadap korban yang mereka lihat. Pembangkangan tidak langsung ini sangat massif terjadi dimana-diamana. Ketika mereka mempunyai kepercayaan yang baik akan sosok 'satria piningit', tokoh agama yang berdedikasi maka mereka tidak segan untuk bergerak walau nyawa jadi taruhan. Inilah yang terjadi dalam Peran Jawa (1925-35) yang dipimpin Pangeran Diponegero. Begitu juga pemberontakan Banten yang diwarnai ideologi islam dan anti pembaratan/sekularisasi.

Satu kesimpulan spekulatif yang layak diperdebatkan. Bahwa bibit revolusi dan perlawanan itu ada di masyaakat yang awalnya tanpa organisir, tidak ada niat untuk mengubah keadaan dan situasi akibat perasaan yang "powerless." Namun ada beberapa situasi yang mengakibatkan rasa bergerak langsung dan melaukan perlawanan terbuka. Situasi pertama adalah ketika dia harus menyampaikan solidaritas kepada korban yangs ecara ikatan emostional dekat atau dari kelas sosial yang sama, dia akan proetst tanpa menghitung kekuatan lawan. Mereka berani turun ke jalan walau hanya 4 orang. Situasi kedua, adalah perlakukan penindas yang diambang batas toleransi. Ketiga adalah situasi yang diakibatkan oleh munculnya sosok pemimpin yang dipercaya oleh rakyat dan dinilai rakyat sebagai orang yang dapat dipercaya. Faktor kepemimpinan traditional masih berlaku di masyarakat pedesaan. Kepercayaan mereka kepada pemimpin adalah bagian dari strategi untuk saling tergantung dalam situasi yang lebih solid dalam kehidupan sosial dan politik.

Jadi ketiga situasi itu sama-sama mempunyai potensi mentransformasikan kekuatan semut yang undergoround menjadi kekuatan gajah yang dapat menghancurkan tembok kekuasaan secara terbuka dan langsung. Di sinilah kita mebaca bagaimana everyday politics dan resistensi rakyat dapat berubah menjadi sebuah gerakan sosial dan politik yang terbuka dan mematikan. Dengan demikian revolusi akan dimulai dengan segala kelebihan dan dampak buruknya---termasuk bagi masyraakat kebanyakan yang seringkali tidak mendapatkan 'kepentingan'nya untuk sebuah perubahan besar.

Sandal Jepit, Kaos Oblong, "Sepeda Ontel"

Oleh : David Effendi


Pic : randublatung.wordpress.com

"Sandal jepit, kaos oblong, dan sepeda ontel adalah simbul dari revolusi besar yang kita tidak akan pernah memahami sebelum kita betul-betul mengerti bahwa kekuasaan itu milik semua orang"
(--David Efendi)

Suasana hujan dan dingin ini harusnya menjadikan kita semakin sensitif akan persoalan sekeliling kita. Banyak hal yang menjadikan kita mesti banyak membaca keadaan dan menceritakan ke khalayak. Banyak sekali orang yang tahu keadaan buruk tetapi enggan bertutur, ada yang mengalami penindasan tetapi tidak berupaya untuk mengubahnya. Jika ada teori gerakan sosial tentu itu hanya milik kaum elit, setidaknya itu klaim yang pernah ada. Suatu gerakan yang efektif itu nampaknya harus diperjuangkan oleh orang yang bukan hanya pihak kurban tetapi orang diluar dirinya. Buruh tidak harus berjuang sendirian begitu juga mahasiswa. Ini salah satu tanda geliat baru gerakan sosial. Tetapi kita akan bicara betapa tidak langsungnya semangat perlawanan itu jika dikontekskan dengan upaya merubah secara radikal. 

Setidaknya ada beberapa fenomena yang mengalami apa yang disebut aksi-reaksi, dan paradok sosial. Pertama, ketika situasi mengakibatkan kesulitan mengakses pendidikan tinggi. Tetapi beberapa orang sibuk memikirkan cara berpenampilan yang perlente sebagai mahasiswa. Ini penyakit pertama yang mengakibatkan kaos oblong dan sandal jepit dilarang masuk ruang dosen. Kedua, ketika demokratisasi disambut dengan retorika pelayanan masyarakat keadaan sebaliknya terjadi yaitu pada saat orang harus bekerja sehari-hari dengan keringat bercucuran ada banyak kantor pemerintahan yang melarang rakyatnya masuk kantor dengan pakaian butut. Pakaian butut dianggap tidak sopan dan tidak menghargai etika budaya setempat. Terakhir, pada saat jalanan macet orang "normal" akan berfikir jalan kurang lebar perlu dilebarkan, ada yang agak kritis, uang pembangunan jalan ditilep masuk kantong pejabat (baca: penjahat). Ada juga yang dengan cara lain punya usulan agar jalan dibiarkan begitu saja kalau perlu dipersempit (pembahasan lebih lanjut akan ada dibagian akhir). Kelompok lainnya lebih memilih tidak berkomentar dan terus saja mengayunkan sepede ontel atau becak di saat lampu lalu lintas menyalah merah. Kenapa?

Lihatlah apa yang 'mereka' perbuat
Tahun 2002-2010 saya dikampus besar di Yogyakarta di sana banyak cerita dan fakta. Bahkan sampai tahun 2012 saya di kampus di negara bagian Amerika--Hawaii. Situasi dan kebudayaan memang berbeda. Tetapi seharusnya cara berfikir dan bertindak tidak jauh beda jika kita percaya pada akal sehat dan rasionalitas itu sendiri. Orang sering bilang orang barat lebih mengutamakan rasionalitas alat(instrumental rationality) ketimbang rasionalitas nilai (value rationality, see Weber). Nilai dan moralitas serin dilekatkan pada masyarakat Timur. Ini adalah oposisi biner yang sudah saatnya ditumbangkan. Apa yang kita sebut rasionalitas nilai di masyarakat sering berujung pada rasionalitas alat dan nilai semu (baca: rasionalitas emosi). Hal ini menjadi masuk akal karena, sebagaimana budaya dan identitas, nilai-nilai itu adalah hasil rekayasa dan konstruksi kelas berkuasa sehingga munculnya tata nilai-nilai itu bias kelas sosial (Karl Marx). Kelas sosial tinggi (borjuasi) menciptakan tatatanan yang harus dianggap lebih beradab oleh golongan di bawahnya. Inilah penindasan itu.

Salah satu contoh, mahasiswa tidak boleh bersandal jepit dna kaos oblong dalam perkuliahan. Tidak akan dilayani di bagian kemahasiswaan. Ini terjadi di UGM. kampus besar itu sering memajang tulisan"Tidak melayani Mahasiswa yang bersandal jepit dan kaos oblong", atau ada gambar sandal dan kaos oblong dengan palang merah-nya.  hal ini berlaku pula untuk pelayanan pemerintahan di desa dan kecamatan juga di leval lainnya. Rasionalitas sebagai pelayan rakyat berubah menjadi pengatur kehidupan rakyat bahkan sampai hal-hal yang privat (orang memakai baju dan sandal saja diatur). Artinya kejahatan terhadap privasi itu luar biasa.

Tetapi banyak cara mahasiswa bisa lakukan. Walau mereka pakai sandal jepit dan kaos oblong mereka toh bisa masuk kantor dan dilayani. Caranya? (1) Meminjam teman yang pakai sepatu dan baju yang sedang dipakainya, bahkan saya lihat sendiri mereka bertukar alas kaki dna baju tepat dihadapan petugas kantor jurusan. Seolah mahasiswa itu ingin mengatakan sesuatu, yang hanya dia dan malaikat yang tahu. Tetapi kita tahu bahwa itulah bentuk perlawanan yang tidak langsung. Expresi hal ini sering juga terjadi bagi pejalan kaki di trotoar yang memilih berjalan di aspal dengan konsekuensi ditabrak dari belakang karena keadaan trotoar sangat buruk.

Kasus yang sama terjadi pada pengendara sepeda ontel dan becak. Seringkali kita lihat becak dan sepeda ontel jalan ketika rambu lalu lintas berwarna merah. Karena dia tahu, kalau ikut berhenti akan mendapatkan kesulitan bergerak ketika ratusan motor dan mobil menghimpit kanan dan kiri. Selain itu dia ingin keluar dari jebakan stress dalam lalu lintas yang notabene bukan kenadaraan mereka penyebabnya. Kadang mereka dihentikan oleh polisi dan dibilangi oleh polisi bahwa rambu lalu lintas berlaku untuk semua tidak peduli bermesin atau tidak. Tetapi, kalau pun mereka berhenti biasanya jauh di depan garis putih tanda batas jalan. Menyikapi kemacetan mereka tidak terlalu pusing apalagi memikirkan jalan dilebarkan, bagi mereka, bukan itu masalahnya tetapi ada sesuatu yang harus dikerjakan pemerintah tetapi mereka tidak mau menyampaika secara langsung. Mereka tidak pernah sibuk dengan urusan aturan pembatasan kendaraan. Salah satu hal yang mereka kecewakan adalah 'angkuhnya para pengendara mesin itu). Beberapa seniman dengan snatainya mengambar mural, "jangan bawa mobil ke jogja, makin macet kotaku." Ekpresi ini muncul karena memang seniman itu harus melukiskan walau dia tidak langsung meminta pemerintah melakukan sesuatu itu sudah jelas artinya.Cara lain yang lebih simple adalah dengan mengenakan jaket dan celana lebih panjangd dari sandal jepitnya. Memenuhi aturan itu 'pantangan' tetapi tidak harus mengatakan bahwa kita tidak suka dengan aturan itu. Ini mahasiswa, bukan petani, tetapi cara dan expresinya kenapa sama? (baca James Scott 1987 tentang weapon of the weaks) Apa karena sistem paradigma atau budaya sama? apakaha mahassiwa itu berasal dari lingkungan petani? 

Orang bilang ekspresi tidak langsung itu tidak ada dampaknya terhadap perubahan (Matondang 2012). Maybe YES maybe NO. Satu hal yang sering kita tidak sadari adalah justifikais kita terhadap masyarakat kebanyakan yang tidak mampu menghubungkan masalah hulu (permukaan) dengan persoalan di hilir (akar masalah). "Ketidakmampuan" itu sebenarnya bukan satu hal yang penting tetapi memang karakter individu-individu itu tidak terorganisir dan memang menjadi persoalan sehar-hari yang dekat dengan mereka. Jika menemukan akar masalah dan bergerak mengubahnya itu namanya bukan everyday politik tetapi sudah menyangkut tipe politik lainnya yang bergerak kearah advokasi dan politik konvensional. Sekali lagi, "ketidakpahaman" dan "ketidaktahuan" itu hanya justifikasi kita. Pada umumnya mereka tahu apa dan bagaimaa pemerintah (pengambil kebijakan) harus bertindak tetapi mereka tidak mengatakan itu karena itu sudah melewati batas posisi dirinya sebagai individu--rasionalitas mereka adalah memahami posisi dan situasinya. 

Dari kasus-kasus tersebut, artinya peraturan-peraturan itu tidak akan mengubah keadaan dan cara mahasiswa atau pengguna jalan umum? TIDAK selalu, bahkan kecil kemungkinan, bahkan cenderung ada "pembangkangan" secara diam-diam. Secara diam-diam mereka menolak situasi yang sulit dalam kehidupan yang dihimpit oleh kapitalisme baru dan buruknya pelayanan pemerintah tetapi cara mereka mengespresikannya sangat tidak langung dan bahkan tidak ada niat untuk mengubahnya. Namun pembangakan diam-diam ini jika sudah menjadi rumor, gosip, dimana-mana akan memungkinkan untuk menjadi suatu yang dapat menggerakan perubhan. Ini kemudian diyakini sebagai the power of gossip atau the power of everyday politics. Demikian semoga ada manfaat bagi pembaca. 

Puisi: Pemberontakan dan Perlawanan Sunyi

Oleh : David Effendi



Pic : ppium.wordpress.com

Ketika saya mencintai puisi-puisi perlawanan saya akhirnya diketemukan dengan sosok Widji Thukul yang tidak pernah aku temui secara langsung. Walau demikian sajak-sajaknya membuat semua otak dan jiwaku bergerak mengamini realitas yang digambarkan oleh Tukul. Dia dikenal sebagai aktifis buruh yang menantang kebengisan penguasa melalui puisi dan gerakan turun ke jalan. Secara individu dia melawan dengan pena dan puisi secara kolektif dia mempunyai tenaga untuk bergerak. Di ujung kehancuran orde Suharto di tahun 1998, dia banyak menumpahkan peluru panas lewat puisi lalu dia hilang sebagai martir---revolusi memakan anak kandungnya sendiri.

Ada dua puisi yang saya analisis untuk memberikan gambaran bagaimana pemberontakan sastra itu menjadi terbuka (manifes) dan juga bisa menjadi tertutup (Laten). Kemungkinan terbuka dan tertutup itu ternyata sudah ditangkap oleh Tukul untuk mengatakan bahwa bibit revolusi dan pemberontakan selalu ada dalam masyarakat yang timpang: miskin dan tertindas. Ketika kekuasaan sangat represif dan kualitas penderitaan tidak tertahankan lagi mereka akan melawan jika ada solidaritas antar buruh dan orang miskin. Jika keadaan masih bisa ditahan, kekuatan terjaga dan diam.

Puisi pertama bunyinya demikian:

Bunga dan Tembok 
seumpama bunga
kami adalah bunga yang takkau hendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang takkau kehendaki adanya
engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami di manapun-tirani harus tumbang!

Revolusi, dimulai dari keyakinan dan lalu bergerak diumpamakan dengan bunga yang tumbuh bersama-sama di tembok lalu tembok akan runtuh. Itulah proses revolusi yang ternyata mampu menjatuhkan penguasa Orde Baru. Tulisan ini dibuat sebelum Suharto tumbang dan keyakinan itu telah dicatat sejarah sebagai keyakinan yang menemukan realitasnya.
Kedua adalah puisi dimana memberikan gambaran bahwa kekuatan rakyat yang tersembunyi bisa meledak kapan saja. Karena dengan hati-hati rakyat mengungkapkan ketidaksenangan dengan penguasa. Perlawanan sunyi itu diexpresikan sebagai ancaman besar yang akan merongrong penguasa. Puisi itu bunyinya begini:

Peringatan 
jika rakyat pergiketika penguasa pidato
kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasandituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!

Puisi ini mempunyai level provokasi dan efektifitas gerakan organic yang luar biasa. Dia yakin bahwa kekuasaan itu adalah tidak bisa dimonopoli Negara. Kekuasaan dan tenaga adalah milik buruh, milik kaum tertindas, dan kenekatan itu adalah kekuatan yang tidak pernah dimiliki penguasa mana pun. Orang miskin pasti radikal dan radikalitas itu dikendalikan oleh keyakinan bahwa mereka adalah manusia yang butuh kelayakan hidup. Perjuangan kelas adalah bagian darinya dan perjuangan sehari-hari itu muncul dari setiap ekpresi individu ketika menghadapi pahitnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Gosip dan rumor adalah bagian dari kebudayaan wong cilik sehari-hari. Jika penguasa sudah digosipd an diabaikan omongannya maka kekuasaan itu sudah melemah di mata public. Ketika orang tertindas meyakini bahwa Negara lemah, disitulah pemberontakan dimulai.