Senin, 14 Januari 2013

Kultur Politik Kita: Srawung Vs Gaduh

Oleh : David Efendi
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


Politik itu memecah sedangkan dakwah itu merangkul
 --Buya Syafii Maarif, 2007

Dari ungkapan tersebut memperlihatkan relasi kuat bahwa peradaban politik kita, menurut Syafiii Maarif masih sangat terbelakang walau pembangunan demokrasi selama ini sudah merampas banyak energy anak bangsa. Tidak sedikit yang merasa lelah berdemokrasi dan tidak sedikit pula yang merindukan penguasa ‘fasis’ ala otoritarian Suharto.  Hal ini tercermin dalam berbagai ekpresi publik dengan berbagai media yang membantunya baik di dunia maya maupun dunia nyata—baik yang diekpresikan dalam gossip sehari-hari atau tulisan dalam bak mobil dan seni jalanan.

Keterbelakangan kultur politik dalam alam demokrasi kita ditandai dengan dengan kegaduhan politik yang sangat bising di tahun 2011 dan 2012. Belum ada pertanda yang berarti bahwa tahun 2013 kegaduhan dan kontraproduktif politik akan berkurang—bahkan, secara akumulatif publik sudah memprediksi tahun 2013 adalah tahun politik yang pastinya akan diikuti berbagai panggung dan aksi theatrical politisi menyonsong pemilu legislative dan presiden pada pertengahan 2014. Sampah visual dalam media dalam kerangka politik pencitraan pun akan membanjiri jagat republik ini. Dalam pesta pora ini, kepentingan rakyat kebanyakan paling terabaikan dan yang meraup keuntungan terbesar lagi-lagi adalah pemilik kapital (sponsor) atau penyelenggara jasa konsultan dan survey politik.

Tahun Politik dan Varian Baru Politisi

Dalam tahun 2013 setidaknya ada empat hal yang menjadikan dunia persilatan di republik ini semakin panas.
Pertama, Pilkada. Menurut rilis yang penulis olah dari beberapa sumber bahwa akan ada sebanyak 160 pilkada di tahun 2013 dan awal 2014 yang meliputi 13 pemilihan gubernur, 105 bupati dan 32 pemilukada wali kota. Hal ini menyebabkan ada pergerakan uang yang sangat besar dan diikuti oleh berbagai pialang dan entrepreneur politik yang juga akan berlaga untuk mendapatkan jatah peruntungan masing-masing. Kegaduhan akan timbul selain persoalan ‘perang’ antar pendukung calon adalah diikuti dengan berbagai sengketa pemilu yang akan bermuara kepada kekerasan dan gugatan hukum.

Kedua adalah hal yang masih bertalian dengan kepentingan daerah dan elit lokal yaitu komodifikasi isu pemekaran daerah.  Kebijakan pemekaran juga memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap kegaduan politik akibat pro dan kontra baik antar elit lokal maupun kelompok kepentingan di daerah menghadapi politisi di senayan. Dalam persoalan ini banyak sekali ‘calo’ pemekaran yang menjadikan upaya berbagai kesejahteraan ini menjadi sangat koruptif. 

Ketiga, adalah pemilu nasional yang meliputi pemilu legislative dan eksekutif (pilpres).  Perang bintang dalam pra pemilihan presiden akan menjadikan eskalasi politik memanas. Selain perang survey juga akan diikuti konflik antara pendukung yang akan berpengaruh kepada penyebab kegaduhan berikutnya.  Keempat adalah kegaduhan yang diakibatkan oleh perpecahan atau faksi dalam partai terkait kandidasi dalam pemilu dan kepentingan elitnya.

Terakhir dan tidak kalah menarik adalah kegaduhan politik akibat persoalan penanganan korupsi dan persoalan lembaga ‘super body’ seperti KPK dan MK yang akan mengundang banyak permusuhan kepada pihak-pihak yang terancam terutama kelompok-kelompok yang terperangkap dalam kasus korupsi yang belum tuntas di tahun 2012 yaitu Hambalang, Wisma Atlit, Century Gate dan Simulator SIM.

Catatan Penutup

Namun demikian sangat dimungkinkan bahwa sepanjang tahun 2013 ini akan banyak calon incumbent dan penantang dalam pilkada atau pilpres akan mengubah strategi dari ketergantungan terhadap mesin birokrasi dna partai menjadi model ‘koalisi’ dengan rakyat ala Jokowi-Ahok. Strategi ini adalah upaya membangun dan menumbuhkan simpati publik walau sebenarnya banyak kesadaran palsu yang hendak dibangun. Dikatakan sebagai kesadaran palsu karena ini masih dalam logika politik pencitraan sehingga tidak bisa kita katakan sebagai model strategi kampanye politisi yang autentik sebagaimana model Jokowi dan Dahlan Iskan, untuk menyebut sedikit contoh, memang style dan bawaannya sudah seperti itu adanya. Inilah yang juga akan memberikan ruang ekpektasi baru baik bagi politisi atau rakyat tentang hadirnya manusia jenis politisi yang akan lebih “srawung” (istilah lain dari blusukan, yaitu senang menemui rakyat secara langsung dengan atau tanpa agenda) dan tentu saja meraka akan berusaha merebut gelar ‘pemimpin merakyat”.

Minggu, 13 Januari 2013

Lapsi dan RBK kerja sama bikin Workshop

(LaPSI News, 13/01/2013) Pemanfaatan perkembangan teknologi digital, termasuk rekayasa tampilan dan desain bukan lagi kebutuhan yang asing. permintaan stakeholder harus sebisa mungkin dipenuhi. Dengan begitu, otomatis pekerjaan dibidang desain apapun, termasuk pada perangkat lunak seperti Ms Power Point, Dream Weaver, Photoshop, Flash Player, bukan lagi sekedar pekerjaan ahli, tapi sudah menjadi syarat khusus yang menunjang kompetensi guru, mahasiswa, aktifis, dan sejumlah pihak lain.

Minggu, 13 Januari 2013, mengawali tahun, Lembaga Pengembagan Sumber Daya Insani bekerja sama dengan Komunitas Rumah Baca (RBK), menyelenggarakan Workshop "Pembuatan Slide Bagus" yang disajikan oleh Arif Indra Wanta, dimoderatori Labib Ulinuha di Kantor RBK-LaPSI, Kasihan, Bantul. Workshop sehari ini membahas tuntas, trik dan tips serta bagaimana mendesain tampilan slide presentasi yang menarik. sejumlah peserta nampak antusias mengikuti pelatihan memperhatikan pemaparan narasumber.  

Rabu, 09 Januari 2013

Objetifitas dibalik Pembubaran (R)SBI

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Anggota Divisi Kajian dan Riset Lapsi


RSBI dan SBI sejak lama diduga menjadi pelopor diskriminasi dalam dunia pendidikan. RSBI dan SBI, sekolah reguler ataupun akselerasi dicirikan oleh kurikulum, alokasi waktu pembelajaran, sarana dan prasarana. Perbedaan ini berpangkal pokok pada tujuan dan sasaran dari masing-masing jenis satuan pendidikan.  RSBI dan SBI mencolok pada upayanya menghasilkan kualitas lulusan dengan akreditasi yang dianut oleh Negara Anggota Organisation for Co-Operation and Development (OECD). RSBI dan SBI pun dianggap lebih dari sebuah label karena pemenuhan atas kriteria-kriteria seperti, tersedianya pendidik strata dua (S2), penggunaan bahasa internasional, dan sejumlah kegiatan pembelajaran serta alokasi waktu yang berbeda dengan satuan pendidikan lain.

Mahkamah Konstitusi pada selasa (08/01/2012) telah menjatuhkan keputusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap; Pembukaan, Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 36 UUD 1945, dengan akhir pembubaran RSBI dan SBI. Ayat yang menjadi masalah tersebut berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”

Terhitung sejak 28 Desember 2011 surat permohonan pengujian UU sudah diajukan kepada Kepaniteraan Mahkamah dengan berkas yang sebelumnya sudah tercatat sejak 11 Januari 2011. Tujuh pemohon yang terdiri dari swasta, dosen, dan orang tua murid yang dibantu oleh Tim Advokasi “Anti Komersialisasi Pendidikan” akhirnya berhasil menuai kerja keras dalam kurun waktu yang cukup lama yakni dari 2011 sampai 2013. Setidaknya ada tiga alasan penting yang dibawa oleh pemohon dalam  konteks “Legal Standing” sebagai pemohon,  pertama, adalah penggunaan APBN sebagai salah-satu sumber pembiayaan RSBI dan SBI; kedua, kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan dana RSBI dan SBI; terakhir mengenai pemungutan RSBI dan SBI yang dianggap janggal dikarenakan alasan pertama. 

Akhir dari (R)SBI

Ada 1.300 RSBI dan SBI yang menerima Alokasi dana Block Grant yang berkisar antara 200 sampai 300 juta per tahun untuk jenjang satuan pendidikan dasar sampai menengah yang selama ini berjalan otomatis harus dialihkan kedalam program lain karena keputusan pembubaran RSBI dan SBI oleh MK. Pengalihan dana Block Grant ini harus mencermati dan memaknai persoalan dana Block Grant yang sudah pernah beberapa kali menimbulkan polemik.

Dana Block Grant ini tentu adalah masalah yang tidak kalah penting dibandingkan alasan-alasan ideologis dan paradigmatik atas keberadaan RSBI dan SBI, serta alasan-alasan lain yang berbicara dengan wacana tentang hak-hak warga negara untuk mendapatkan kualitas pendidikan tanpa diskriminasi. Tercatat pada pertengahan tahun 2012, mencuat sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan PNS dalam kasus korupsi dana Block Grant senilai 1 M di Mojokerto bulan Juni, serta sejumlah kasus serupa yang melibatkan petinggi/elit pendidikan semisal yang terjadi di Kab. Tangerang pada bulan agustus.

Akhirnya, RSBI dan SBI adalah dinamika dunia pendidikan bagi Indonesia. Keberadaan RSBI dan SBI pada bermacam sisi menyulut pro dan kontra. Sebagai dinamika dalam sistem pendidikan, RSBI dan SBI bisa jadi adalah respon terhadap kebutuhan akan upaya pembangunan kualitas SDM yang lebih mudah terlihat dan secara kongkrit hadir melalui lembaga pendidikan formal. RSBI dan SBI bisa jadi juga adalah cara sistem pendidikan membuka upaya kreatif dalam artian menumbuhkan minat kompetitif positif penyelenggara pendidikan. Dibubarkannya RSBI dan SBI tidak serta merta menjadikan permasalahan telah selesai, perlu dipikirkan juga mengenai biaya perawatan fasilitas, sarana dan prasarana, serta tunjangan bagi para pendidik. Selain itu juga, kemungkinan akan adanya minat yang besar dari orang tua murid berbondong-bondong berpikir untuk memindahkan anaknya ke bekas sekolah RSBI dan SBI, bagaimana dengan persoalan pembiayaan?. Penggunaan kurikulum International Baccalaureate juga entah akan bagaimana nasibnya kelak, karena bahan ajar atau kurikulum ini juga memerlukan dana. Pemerintah memang memiliki alasan atas keberadaan RSBI dan SBI, misalnya, sebagai jawaban atas tuntutan sebagian masyarakat yang menginginkan wadah pendidikan berkualitas didalam negeri. Sehingga murid tidak perlu keluar jauh meninggalkan sanak famili ke luar negeri hanya karena mengejar mutu pendidikan.

RSBI dan SBI yang kemudian disamaratakan menjadi sekolah “biasa”, bagaimanapun juga akan tetap memperlihatkan perbedaan. Jika semangat penolakan RSBI dan SBI adalah spirit hak kesetaraan menerima kualitas pendidikan tanpa ada diskriminasi, maka ini malah menambah pertanyaan yang tidak kalah rumitnya. Kualitas pendidik tidak merata, bahkan cenderung hanya menggemuk pada beberapa regional maju saja, sedangkan di regional pelosok tentu masih harus menempuh perjalanan cukup jauh  untuk mengupayakannya (kualitas guru). Serta bahan bacaan dan update informasi mengenai konten mata pelajaran terutama dalam bidang sains. Alasan bahasa penggunaan bahasa internasional dalam RSBI dan SBI yang juga turut disorot karena dikhawatirkan akan menghilangkan jati diri bangsa, tidak sepenuhnya dapat diterima. Penguasaan bahasa tidak selalu berjalan searah dengan kecintaan terhadap bahasa. Penghargaan terhadap bahasa-bahasa lokal mungkin hanya secara khusus menjadi mata pelajaran mandiri untuk beberapa jenis bahasa saja, semisal bahasa jawa.

Kastanisasi pendidikan yang dianggap tercermin dari hadirnya RSBI dan SBI bukan hal yang baru. Dimana-mana kastanisasi pendidikan selalu ditandai dengan adanya penggolongan dan pembedaan dari biaya operasional pendidikan yang harus dibayarkan oleh pihak penerima layanan pendidikan. RSBI dan SBI sebagai bentuk kastanisasi untuk beberapa aspek dapat diterima dan dapat juga ditolak. Meskipun Penggolongan murid RSBI dan SBI serta sekolah reguler bukanlah penggolongan kastanis, tapi penggolongan permintaan kualitas, serta permintaan kebutuhan variatif dari peserta didik, namun tetap saja ini dianggap bertentangan dengan undang-undang yang telah menjamin pendidikan bagi setiap warga negara.  Pada dasarnya pendidikan bebas diterima oleh siapa saja yang idealnya difasilitasi oleh pemegang kekuasaan. Entah bagaimana pemerintah akan berupaya membangun pendidikan tanpa harus mengorbankan kualitas dan tanpa harus mengorbankan hak warga negara. Entah bagaimana juga sekolah-sekolah dengan bentuk lain yang sebenarnya tidak berbeda dengan RSBI dan SBI yang juga menyerap dana operasional tidak sedikit dan menampakkan kastanisasi karena hanya melayani kaum berduit akan diatasi. 

Minggu, 06 Januari 2013

Kultur Politik Sehari-hari dan Kita

Oleh : David Efendi
Dosen di Rumah Baca Komunitas


Kultur adalah hidup sehari-hari dalam perilaku dan sikapnya menghadapi kenyataan, yang ingin diberi makna. Kultur adalah pula ranah menghayati hidup dengan mengacukannya pada yang suci, yang benar, yang baik dan yang indah lalu menjadikannya laku tindakan nyata.

--Mudji Sutrisno, dalam Opini Sindo 4 Januari 2013.




Definisi diatas nampaknya membantu kita untuk menjelaskan bahwa ‘Kultur’ tidak pernah lepas dari alam pikir dan tindakan manusia baik secara individu maupun organisasi sehingga kita bisa melihat potongan dan irisan antara respon politik sebagai pribadi dan sebagai kesatuan komunitas atau perilaku komunitas. Sebagai contoh, warga NU atau Muhammadiyah tidak selalu menyuarakan ekpresi politiknya sama dan sebangun dengan suara elit atau keputusan organisasi dalam berbagai praktik pemilihan langsung termasuk juga perbedaan cara mensikapai terkait isu-isu ekonomi-politik-budaya keseharian. Di sinilah terdapat potongan yang tegas namun di sudut lainnya ada interseksi.


Politik Arus Besar yang ‘diam’

Arus besar politik sebenarnya bukanlah politisi nasional, pemodal atau pengusaha kakap, dan partai politik menengah ke atas melainkan suara-suara keseharian masyarakat sebagai mayoritas dalam piramida stratifikasi sosial. Suara-suara itu merespon berbagai hal dan isu baik secara langsung atau tidak langsung dan pada umumnya suara-suara itu tidak pernah dikomunikasikan secara sistemik dengan atau melalui organisasi sosial (advocacy organization) atau organisasi politik. Kecenderungan memprivatisasi pendapat dan opini ini disebut sebagai fenomena ‘everyday politics’ (Kerkvliet, 2010).

Karakteristik lain ‘politik arus besar’ yang massif sehari-hari terjadi dan eksis di masyarakat ini adalah hidden dan bersifat simbolik sehingga seringkali pemerintah atau pengambil kebijakan gagal memahami apa kemauan masyakat mayoritas yang cenderung ‘diam’ (silent mayority). Diamnya arus ini bukan berarti hampa atau tanda tak dalam. Dalam pandangan batin dan pikiran mereka sebenarnya sudah mampu memahami situasi dan bagaimana mengambil sikap---bahkan, mereka dapat memberikan jawaban solusi atas persoalan itu lebih make sense ketimbang para pengamat politik di media.

Hal itu akan terungkap ketika ada saluran-saluran yang dianggap oleh grassrrot sebagai kanal yang tepat untuk menumpahkan pendapatnya. Salah satu contohnya adalah ketika Jokowi meruntuhkan tembok pembatasa antara politisi elit dengan rakyat maka rakyat akan menyimpulkan bahwa pengutaraan gagasan secara oral dapat dilakukan karena Jokowi tidak dianggap sebagai ancaman atau bahkan dipercaya akan merealisasikan apa yang menjadi kecemasan, sumber complain, dan gossip keseharian.

Politik ‘srawung’ yang dilakukan oleh Jokowi atau Dahlan Iskan itu ternyata menyedot perhatian snagat besar masyarakat tidak hanya di kota-kota besar tetapi di pelosok desa. Bisa saja, karena itu SBY terinspirasi untuk memulai menyapa rakyat langsung ke lokasi dengan gaya blusukan. Politik non-ekslusif atau srawung itu menurut perspektif sosial budaya adalah sebagai upaya memanusiakan manusia tanpa diskrimatif dan juga merupakan manifestasi dari kesetiakawanan sosial. Karena itulah, ke depan akan semakin tumbuh besar karena psikologi masyarakat menghendakinya.


Interseksi dan Interkoneksi

Banyak orang yang gagal menarik benang merah antara perilaku individu yang tak terorganisir dengan dampaknya kebijakan yang diambil oleh atasan (highest rank officer) atau bisa juga diartikan sebagai perilaku penguasa.  Hal ini berakibat fatal manakalah kebijakan itu didasarkan dari survey dan polling atau FGD konvensional dimana disitu terdapat bias yang cukup besar.

Sensitifitas terhadap pelaku ‘everyday politik’ bisa diperkuat dengan kajian-kajian politik antropologi sehingga benar-benar dapat emmbaca karakteristik, symbol, dan suasana bathin masyarakat.  Hanya dengan demikian kultur demokrasi pesakitan dan kegaduhan politik di masa mendatang dapat seidkit diobati---atau secara senyap akan diamputasi!.

Pemilu dan beberapa isu lokal serta kebudayaan kadang mempertemukan jenis politik formal dengan informal lantaran ada kepentingan yang sama walau secara matematika tidak ekonomi tidak mungkin disejajarkan. Grassroot menginginkan keberlangsungan hidup yang susah agar tidak menjadi lebih susah adalah cerminan bahwa public tidak berharap ada gerbang baru yang memberi harapan baru perjalanan hidup mereka. Inilah masyarakat yang tidak bergantung kepada negara secara politis. Salah satu contoh menarik adalah kasus di Yogyakarta. Dari 3 juta penduduk mungkin yang memperhatikan perlu dan tidak perlunya penetapan atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur hanyalah bagian kecil saja sementara bagian lain bisa saja tidak terlalu mementingkan itu tetapi mereka sangat loyal dan peduli terhadap nilai tradisi dan kebudayaan 'asli' Yogyakarta. Pada situasi inilah mereka dapat diartikan sebagai bagian dari rakyat yang pro-keistimewaan dengan penetapan Gubernur dan Wakilnya. 

Tetapi sedikit berbeda misalnya bagi pelaku politik keseharian kelas menengah mereka akan complain, mencari solusi baik langsung atau tidak—tergantung kesempatan yang memunkinkan (political opportunity) untuk menjadi overt (buka) atau tetap covert (tertutup) dalam menyalurkan ekpektasi dan ketidaksenangan terhadap situasi. Kelas menengah akan berhitung matematis tentang struktur keuntungan dan kerugian politik. Begitu juga saya, anda, dan kita semua dapat membangun rasionalitas untuk berperilaku langsung atau tidak, simbolik atau manifest. Setelah itu, kita tidak banyak berharap aka nada perubahan dari luar diri kita. 


Ditulis tengah malam di markas Rumah Baca Komunitas

Jumat, 04 Januari 2013

Seusai Demam Qiamat

Oleh : David Efendi

Ramalan suku Maya tentang berakhirnya semesta yang sangat meramaikan jagat diskusi di berbagai belahan dunia ternyata gagal terlaksana. Beberapa hari sebelum deadline qiamat 2012 harian kompas meliput berita tentang adanya pembaruan kalender suku maya yang ditemukan---sebagai bukti bahwa kelander itu tidak pernah mati dan selalu berganti dengan kalender baru seperti halnya 2012 menjadi kalender 2013. 


Batalnya qiamat menjadi angin seger bagi banyak kalangan termasuk koruptor, mafia kasus, dan berbagai kelompok predator lainnya yang ada di negeri ini. Sementara bagi anak alay, cenderung mensikapi dengan berbagai 'kekhasan' termasuk bahkan obrolan 'imajiner' mereka dengan malaikat pada saat berada di alam kubur. Anak-anak alai atau mewakili generasi 4D atau i-generasi cenderung sangat rilek menghadapi kehancuran total termasuk terro yang sangat megerikan dalam berbagai buku cerita tentang siksa kubur. Begitu juga koruptor, mereka sangat rilek ketika menjadi tersangka bahkan pada saat menjalani penahanan. Inilah irisan antara kelompok alai muda dengan alai tua. 

Qiamat Gagal, 2013 bakal lebih gila

Itu adalah ungkapan serius terkait tahun 2013 sebagai tahun politik yaitu persiapan menghadapi pemilu 2014 yang sudah mulai ditabuh genderangnya. Di tahun 2013 juga ada 10 pilgubenur dan puluhan pilkada bupati/wali kota. Artinya, 2013 bakal lebih dramatis kegaduhan politiknya. Gilanya, tahun 2013 ini bisa menjadi tahun sial (an) bagi rakyat kebanyakan akibat dari rasa frustasi kepada pelaku panggung politik. Wajar saja,  Anti-Tank project (sebagai komunitas anti pemerintahan) menyambut 2013 dengan gambar besarnya dengan tulisan: Butuh Badut? hubungi senayan! Seperti biasa, karya-karya desain itu selalu menarik kita lihat di kanan kiri bangjo (trafic light) di Yogyakarta.

 Demam qiamat itu sudah lewat, begitu juga demen Jokowi sehingga harapan 2013 ini masih sangat sulit untuk membangun optimisme publik. Bisa jadi banyak orang mengharap muncul berbagai jenis Jokowi di daerah sehingga mampu memberikan tawawan generik untuk mengobati luka politik atau truma publik atas ketidakpastian kehidupan politik dan demokratis. Selain mereka menjadi apatis, mereka cenderung menghukum siapa saja yang ada disekelilingnya dengan berbagai ekpresi kecemasan dan anarkisme. Lihat saja, kekerasan antar etnis di Lampung, kegalauan dan kekerasan pihak aparat atas wartawan, perlakuan diskriminatif berbau sara dan perda di daerah-daerah. Konflik antar iman atau meminjam bahasa najwa shihab, sengketa iman, melatari babak akhir tahyn 2013 dan artinya akan berlanjut di tahun 2013. Ada asap selalu akan ditemukan apinya. Jika asap 'qiamat' itu muncul di penghujung 2012 artinya ada kebakaran di tahun 2013.

 Persoalan pencitraan, misalnya, dianggap sebagai persoalan serius sepanjang kepemimpinan SBY sejak tahun 2004 silam. Banyak kelompok 'oposisi' menyatakan politik pencitraan itu merugikan kepentingan publik secara luas karena pemerintah sibuk membuat image baik dan bekerja keras hanya untuk menyelamatkan nama baik tersebut. Orang yang simpatik kepada SBY kemudian sebagain besar bergeser dan berbalik akibat gagalnya politik pencitraan dan terjebaknya dalam kasus korupsi.  Orang lalu berharap tahun 2013 politik pencitraan dapat dihindarkan tetapi nampaknya itu nyaris tidak mungkin karena tahun 2013 adalah tahun klimaknya pencitraan untuk merebut simpati dan dukungan publik untuk kursi legislatif dan eksekutif: RI 1 dan RI 2. Gemuruh dan kegaduhan politik itu sudah mulai terasa---beberapa demam politik dan beberapa terlihat begitu menikmati. 

2013:  Tahun harapan?

Petanya demikian. DPR berada di urutan pertama diantara lembaga-lembaga atau institusi yang dipandang korup, demikian menurut hasil survei yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) di 33 provinsi selama 14-24 Mei 2012 dengan melibatkan 2.192 responden. Sebanyak 47 persen, atau 1.030 responden dari total 2.192 menyebut DPR sebagai lembaga yang paling korup dibandingkan dengan kantor pajak, kepolisian, dan partai politik.

 Lalu, apa yang bisa diharapkan dari tahun 2013 adalah pertanyaan yang sangat sulit menemukan jawaban yang memuaskan. Alih-alih menjawab persoalan kesejehteraan, pengentasan kemiskinan, dan penyediaan lapangan kerja, panggung sandiwara pejabat negara di yudikatif, eksekutif, dan legislatif saja belum selesai merembug mekanisme sidang dan etika pejabat. Mereka cenderung melewan hukum, memutar balikan fakta, bertahan, atau melakukan upaya penghilangan bukti dan seterusnya. 

Pilar demokrasi yang berupa partai politik itu justru menjadi pilar korupsi (Syamsudin Haris, Kompas 2012), civil society dan media cenderung tersegregasi sebagai bagian supporter dari kekuasaan itu sendiri. Inilah karakteristik politik aliran yang masih tersisa di republik ini sebagai konsekuensi masyarakat plural (berbeda dengan pluralistik). Di Amerika masyarakat tidka tersegregasi demikian karena hanya ada dua partai politik peserta pemilu yang sudah well established. Jadi, kita akan berharap kepada siapa dan apa? 

Jawaban Ebiet, "tanyakan pada rumput yang bergoyong" dan "jawabnya ada di langit," dalam song theme film kartun Dragon Ball versi Indonesia.

 Ditulis di KH Dahlan 103 Yogyakarta 

Kamis, 03 Januari 2013

Akhir Tahun 2012 Menegaskan Gagalnya Peran Negara

Oleh : David Efendi, SIP, M.A
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY


Perjalanan negara ini, setiap penghujung tahun selalu diuji dengan bencana alam. Baik karena natural disaster (murni kejadian alam) maupun human made (kesalahan manusia/tekhnologi). Termasuk akibat sengketa dan konflik antarwarga sebab sentimen SARA.

Kita ingat, pada akhir tahun 2004 ditutup dengan ratap tangis korban Tsunami di Aceh, akhir tahun 2009 ditutup dengan suasana pedih korban gempa Padang,  akhir tahun 2010 letusan gunung merapi meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan tahun 2012 yang konon kabarnya adalah tahun 'kiamat' ditutup dengan serentetan duka konflik antarwarga. Termasuk sengketa iman, rebutan lahan, sentimen SARA semua itu semakin menegaskan, gagalnya peran negara.

Kejadian di Lampung, dilihat dari kacamata kami, warga yang tinggal di luar daerah yang dikenal sebagai say bumi ruah jurai itu mengisyaratkan integrasi bangsa ini rapuh dan proses pembangunan bangsa ini juga memang benar- benar belum usai. Menurut istilah Max Lane, unfinished nation state building. Artinya, bangsa ini terus dihantui oleh ancaman disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya--kapan dan dan tanpa dapat diprediksi dengan tepat ibarat letusan gunung merapi.

Apa yang mesti dikoreksi dari lintasan kejadian selama tahun 2012 ini. Mengutuk pemerintahan yang absen, terlalu sibuk pencintraan, dan penyelamatan diri dari jaring anti-korupsi dan sebagainya tentu saja belum cukup.

Kerentanan sosial dan politik ini, salah satunya, dapat dibaca dari konsep 'governability' dimana negara yang menurut Marx Weber adalah lembaga yang secaa syah menggunakan kekerasan itu tidak dapat difungsionalisasikan dengan tepat sehingga justru paradok yang muncul. Paradok artinya kehadiran dan ketidakhadiran 'negara' itu keduanya membawa 'petaka' bagi eksistensi kedamaian dan kerentanan sosial. Jika 'negara' yang sering diharapkan peran 'pembawa kebiakan umum' saja gagal menjalankan fungsi dasarnya tentu saja psimisme bangsa akan melanda sampai ke level paripurna. Wajar saja, komunitas Anti-Tank di Yogyakarta mempublikasikan seruan untuk 'jangan pernah perecaya kepada pemerintah' dan juga menyebutkan bahwa itu penuh “kebohongan|” dan “bajingan” (dengan gambar gedung MPR melatarinya).

Trust masyarakat telah dibunuh oleh pemerintah itu sendiri sehingga klimaknya, setelah ada gambar Budiono: antara ada dan tiada, lalu muncul di dunia maya mengabarkan kehilangan sosok presiden: Dimana atau kemana presiden pada saat silang sengkurat antara Polri dengan KPK. Sinyalemen pelemahan negara oleh pembajak demokrasi dan elit pembunuh keadilan itu kemudian bermuara pada ekpresi masyarakat tentang 'kegagalan negara dan kebohongan negara' yang juga menimbulkan kegaduhan politik yang sangat serius----lantaran, negara menjawab kritik dengan membalas kritik sehingga ada upaya menjawab dengan kerja keras dan kejujuran untuk menyampaikan fakta. Inilah sebab kegaduhan dalam pemerintahan 'yang mengedepankan pencitraan ketimbang menjawab kebutuhan riil publik.

"Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Demikian dictum dari pasal 5 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian di Negara kita. Jelas idealnya, lembaga Negara ini diharapkan menjadi bagian dari solusi baik prefenstif maupun penindakan tetapi dalam praktiknya, lembaga Negara baik kepolisian maupun TNI justru menjadi part of problem. Kasus sengketa wewenang POLRI dengan KPK, TNI dengan insane media (di Ambon baru-baru ini setelah kejadian di Riau) dan sejarah republik ini nampaknya oknum ‘pengguna kekerasan secara sah’ ini kerap kali kontraproduktif dengan pembangunan politik dan demokrasi.

Kondisi ini tidak 100% murni kesalahan TNI ataupun polisi karena sebenarnya dalam batas tertentu mereka sudah sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi dan batasan isu Hak Asasi Manusia namun ada beberapa kondisi yang menjadikan posisi ‘agen’ jasa keamanan resmi ini dalam situasi delematis. Satu sisi, laiknya Negara transisional oknum ‘keamanan’ diharapkan mampu menjadi katalisator dari berbagai upaya kelompok baik yang pro dengan strategi kekerasan (GAM di Aceh, OPM di Papua, kelompok pro integrasi dan merdeka di Timor-Timur) dan sebagainya. Namun, di sisi lain ada batasan dan penghargaan terhadap kebebasan sipil dalam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berserikat.

Dalam situasi chaos seperti tahun 1998, 2003, konflik ‘SARA’ dan juga di penghujung tahun 2012 ini ‘negara’ benar-benar dalam keadaan sulit untuk memastikan masyarakat hidup dalam damai. Kita lihat, serentetan konflik antar desa, antar suku, antar aliran kepercayaan/agama terus terjadi dan Negara dihadapkan kepada dua pertanyaan besar dari kedua belah pihak baik yang menghendaki peran kuat Negara atau yang menghendaki tegaknya Hak Asasi Masyarakat Sipil. Satu kelompok mempertanyakan kemana Negara di saat situasi perang/konflik? Dan satu sisi melontarkan kenapa Negara bersifat represif dan tidak memanusiakan manusia?

Mencari Solusi
Setidaknya ada dua penjelasan solusi. Pertama, jika persoalan tawuran, geng motor, konflik antar keyakinan agama, dan pilkada adalah dianggap sebagai ekpresi protes dari ketidakadilan yang terjadi secara luas dan akibat Negara gagal menegakkan janji kesejahteraan maka pemerintah harus menjawab dengan kerja nyata perbaikan ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan, secara nyata dan integral dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dan dengan komunikasi yang proporsional selama program itu berlangsung tanpa tendensi politik musiman (baca: kepentingan pemilu 2014).

Dan kedua, apabila persoalan kekerasan dan banalitas masyarakat yang menggejala akhir-akhir ini akibat dari kegaduhan politik, korupsi, dan hilangnya kepemimpinan yang berkarakter pro- rakyat (strong leadership) atau dalam bahasa agama keteladanan pemimpin (authentic leadership) maka harus ada upaya yang sangat radikal untuk menghukum ‘pejabat’ bermental busuk dengan cara-cara yang diluar kebiasaan mekanisme birokrasi. Gebrakan melawan mentalitas permisif itulah yang sekarang dibutuhkan tanpa kehilangan dukungan moral publik.

Jika makna toleransi justru dipelihara untuk melegalkan kejahatan terhadap bangsa, maka wajar saja dan akan terus mengalami siklus kekuasaan elit yang bersifat predator dan kanibal yang pada endingnya nanti baik secara langsung maupun tidak langsung, secara radikal maupun konvensional akan turut andil meruntuhkan Indonesia. Jika demikian kondisinya, tahun 2013 akan diliputi kabut hitam untuk mimpi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera

Sumber : koraneditor.com, (2 Jan 2013)