Oleh : David Efendi
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Politik itu memecah
sedangkan dakwah itu merangkul
--Buya Syafii
Maarif, 2007
Dari ungkapan tersebut
memperlihatkan relasi kuat bahwa peradaban politik kita, menurut Syafiii Maarif
masih sangat terbelakang walau pembangunan demokrasi selama ini sudah merampas
banyak energy anak bangsa. Tidak sedikit yang merasa lelah berdemokrasi dan
tidak sedikit pula yang merindukan penguasa ‘fasis’ ala otoritarian
Suharto. Hal ini tercermin dalam berbagai ekpresi publik dengan berbagai
media yang membantunya baik di dunia maya maupun dunia nyata—baik yang
diekpresikan dalam gossip sehari-hari atau tulisan dalam bak mobil dan seni
jalanan.
Keterbelakangan kultur
politik dalam alam demokrasi kita ditandai dengan dengan kegaduhan politik yang
sangat bising di tahun 2011 dan 2012. Belum ada pertanda yang berarti bahwa
tahun 2013 kegaduhan dan kontraproduktif politik akan berkurang—bahkan, secara
akumulatif publik sudah memprediksi tahun 2013 adalah tahun politik yang
pastinya akan diikuti berbagai panggung dan aksi theatrical politisi menyonsong
pemilu legislative dan presiden pada pertengahan 2014. Sampah visual dalam
media dalam kerangka politik pencitraan pun akan membanjiri jagat republik ini.
Dalam pesta pora ini, kepentingan rakyat kebanyakan paling terabaikan dan yang
meraup keuntungan terbesar lagi-lagi adalah pemilik kapital (sponsor) atau
penyelenggara jasa konsultan dan survey politik.
Tahun
Politik dan Varian Baru Politisi
Dalam tahun 2013
setidaknya ada empat hal yang menjadikan dunia persilatan di republik ini
semakin panas.
Pertama, Pilkada.
Menurut rilis yang penulis olah dari beberapa sumber bahwa akan ada sebanyak
160 pilkada di tahun 2013 dan awal 2014 yang meliputi 13 pemilihan gubernur,
105 bupati dan 32 pemilukada wali kota. Hal ini menyebabkan ada pergerakan uang
yang sangat besar dan diikuti oleh berbagai pialang dan entrepreneur politik
yang juga akan berlaga untuk mendapatkan jatah peruntungan masing-masing.
Kegaduhan akan timbul selain persoalan ‘perang’ antar pendukung calon adalah
diikuti dengan berbagai sengketa pemilu yang akan bermuara kepada kekerasan dan
gugatan hukum.
Kedua adalah hal yang
masih bertalian dengan kepentingan daerah dan elit lokal yaitu komodifikasi isu
pemekaran daerah. Kebijakan pemekaran juga memberikan konstribusi sangat
signifikan terhadap kegaduan politik akibat pro dan kontra baik antar elit
lokal maupun kelompok kepentingan di daerah menghadapi politisi di senayan.
Dalam persoalan ini banyak sekali ‘calo’ pemekaran yang menjadikan upaya
berbagai kesejahteraan ini menjadi sangat koruptif.
Ketiga, adalah pemilu
nasional yang meliputi pemilu legislative dan eksekutif (pilpres). Perang
bintang dalam pra pemilihan presiden akan menjadikan eskalasi politik memanas.
Selain perang survey juga akan diikuti konflik antara pendukung yang akan
berpengaruh kepada penyebab kegaduhan berikutnya. Keempat adalah
kegaduhan yang diakibatkan oleh perpecahan atau faksi dalam partai terkait
kandidasi dalam pemilu dan kepentingan elitnya.
Terakhir dan tidak
kalah menarik adalah kegaduhan politik akibat persoalan penanganan korupsi dan
persoalan lembaga ‘super body’ seperti KPK dan MK yang akan mengundang banyak
permusuhan kepada pihak-pihak yang terancam terutama kelompok-kelompok yang terperangkap
dalam kasus korupsi yang belum tuntas di tahun 2012 yaitu Hambalang, Wisma
Atlit, Century Gate dan Simulator SIM.
Catatan
Penutup
Namun demikian sangat
dimungkinkan bahwa sepanjang tahun 2013 ini akan banyak calon incumbent dan
penantang dalam pilkada atau pilpres akan mengubah strategi dari ketergantungan
terhadap mesin birokrasi dna partai menjadi model ‘koalisi’ dengan rakyat ala Jokowi-Ahok.
Strategi ini adalah upaya membangun dan menumbuhkan simpati publik walau
sebenarnya banyak kesadaran palsu yang hendak dibangun. Dikatakan sebagai
kesadaran palsu karena ini masih dalam logika politik pencitraan sehingga tidak
bisa kita katakan sebagai model strategi kampanye politisi yang autentik
sebagaimana model Jokowi dan Dahlan Iskan, untuk menyebut sedikit contoh,
memang style dan bawaannya sudah seperti itu adanya. Inilah yang juga akan
memberikan ruang ekpektasi baru baik bagi politisi atau rakyat tentang hadirnya
manusia jenis politisi yang akan lebih “srawung” (istilah lain dari blusukan,
yaitu senang menemui rakyat secara langsung dengan atau tanpa agenda) dan tentu
saja meraka akan berusaha merebut gelar ‘pemimpin merakyat”.