Oleh : David Effendi
Mantan Ketua Bidang PIP PP IPM
Mantan Ketua Bidang PIP PP IPM
Revolusi bisa saja terjadi dari
alam pikir seorang individu lalu menular ke pada pikiran dan otak lainnya yang
memang secara nalar compatible dengan gagasan dan rumor itu. Saya mencoba
membangun argumentasi empirik yang seringkali memantik terjadi perubahan secara
radikal. Perubahan radikal diawali dari dalam pikiran dan keyakinan. Beberapa
contoh kasus bagaimana revolusi besar terjadi memang seringkali mengundang
perdebatan tetapi mengambil cara pandang alternatif bisa menjadi hal yang perlu
sebagai upaya mencari kebenaran-kebenaran lain di dalam kebenaran-kebanaran
yang diyakini orang kebanyakan (ilmuwan) terkait apa, bagaimana, dan dalam
keadaan apa sebuah perubahan paradigmatik dan fisik dapat terjadi.
Belajar
dari Semut
Semut bisa menciptakan sesuatu
yang lebih besar dari dirinya bahkan lebih besar dari kemampuannya. Semut
mempunyai tradisi rumor dimana semut itu seringkali berarngkulan dengan teman
ketika bertemu sampailah pada terbentuknya jaringan yang menghubungkan antara
satu individu dengan indvidu lainnya, satu individu dengan group, group
dengan group lainnya, tidak hanya di atas permukaan tanah tetapi juga
underground. Dari sinilah revolusi dimulai.
Kasus Europe Spring dan Middle
East Spring itu adalah salah satu ilustrasi penting bagaimana kita menjelaskan
pemantik dari sebuah revolusi besar yang secara radikal mengubah struktur dan
infrastruktur peradaban sebuah negara. Dari diktator menjadi demokratis, adalah
klaim terjadi pemberadaban dan perubahan dramatis suatu fase masyarakat.
Huntington membacanya melalui class of civilization dan lahirnya apa yang
disebut gelombang demokratisasi yang percaya pada teori rumor dan gossip. Rumor
dan gossip tentang indahnya demokarsi dan persamaan hak diwacanakan dari meja
makan ke meja makan, warung-warung, kampus, seminar, dan sebagainya lalu
menjadi 'agama' baru untuk mengganti tatanan lama.
Tidak bermaksud mengatakan bahwa
revolusi semut itu berdampak kecil sementara revolusi gajah mempunyai dampak
besar. Indikasi sebuah dampak adalah bukan hanya dari akibat sebuah proses
revolusi tetapi juga dilihat dari bagaimana kehidupan politik dan ekonomi pasca
runtuhnya rejim lama. Jika hanya mengubah diktator lama menjadi diktator baru,
lalu dampak positif apa yang hendak kita utarakan dari sebuah revolusi berbiaya
tinggi? Revolusi semut yang sifatnya tidak langsung, kadang abstract, dan tidak
nampak itu bisa jadi lebih baik untuk masyarakat karena biaya yang dieluarkan
tidak besar---menjalani kepahitan untuk sebuah proses perubahan alamiah yang
berjangka panjang (futuristik).
"Hipotesis"
dan "Asumsi"
Saya tidak bisa mengklaim
kebenaran bahwa revolusi besar selalu diawali dengan revolusi kecil. Namun
asumsi-asumsi ini menguatkan kita pada satu kesimpulan 'logis' dan ilmiah. Kita
akan mulai dari beberapa kasus yang paling terbaru. Pada revolusi politik yang terjadi
di Tunisia (2011) diawali dari aksi seorang penjual buah yang membakar diri
akibat suaranya tidak terdengar oleh pihak pemerintah yang memperlakukan buruk
(polisi). Dia tidak mengorganisir dirinya kepada kelompok advokasi. Aksi ini
kemudian disambut oleh aksi solidaritas baik di media online atau massa,
solidaritas muncul di mana-mana. Aksi serupa juga bisa dikatakan terjadi di
Mesir dengan skala pengorganisasian yang lebih matang karena memang belajar
dari pengalaman Tunisia. Tetapi eksistensi diktator dan keinginan rakyat
melepas keburukan rejim sama-sama ada sehingga bergerak pun cepat dan masif.
Reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dipicu oleh kasus-kasus kecil
kejahatan pemerintah dengan membiarkan korban diskriminasi, pemerkosaan, dan penculikan
mahasiswa/aktifis. Lalu menjalar ditambah dengan situasi krisis ekonomi luar
biasa. Elit pemerintahan mulai mundur dan inilah revolusi sedang dalam
prosesnya.
Contoh kedua, pada saat revolusi
kemerdekaan. Pembangkangan sipil terjadi juga akibat buruknya kehidupan dan
pelakukan Belanda. Mereka membangkang juga akibat solidaritas terhadap korban
yang mereka lihat. Pembangkangan tidak langsung ini sangat massif terjadi
dimana-diamana. Ketika mereka mempunyai kepercayaan yang baik akan sosok 'satria
piningit', tokoh agama yang berdedikasi maka mereka tidak segan untuk bergerak
walau nyawa jadi taruhan. Inilah yang terjadi dalam Peran Jawa (1925-35) yang
dipimpin Pangeran Diponegero. Begitu juga pemberontakan Banten yang diwarnai
ideologi islam dan anti pembaratan/sekularisasi.
Satu kesimpulan spekulatif yang
layak diperdebatkan. Bahwa bibit revolusi dan perlawanan itu ada di masyaakat
yang awalnya tanpa organisir, tidak ada niat untuk mengubah keadaan dan situasi
akibat perasaan yang "powerless." Namun ada beberapa situasi yang mengakibatkan
rasa bergerak langsung dan melaukan perlawanan terbuka. Situasi pertama adalah
ketika dia harus menyampaikan solidaritas kepada korban yangs ecara ikatan
emostional dekat atau dari kelas sosial yang sama, dia akan proetst tanpa
menghitung kekuatan lawan. Mereka berani turun ke jalan walau hanya 4 orang.
Situasi kedua, adalah perlakukan penindas yang diambang batas toleransi. Ketiga
adalah situasi yang diakibatkan oleh munculnya sosok pemimpin yang dipercaya
oleh rakyat dan dinilai rakyat sebagai orang yang dapat dipercaya. Faktor
kepemimpinan traditional masih berlaku di masyarakat pedesaan. Kepercayaan
mereka kepada pemimpin adalah bagian dari strategi untuk saling tergantung
dalam situasi yang lebih solid dalam kehidupan sosial dan politik.
Jadi ketiga situasi itu sama-sama
mempunyai potensi mentransformasikan kekuatan semut yang undergoround menjadi
kekuatan gajah yang dapat menghancurkan tembok kekuasaan secara terbuka dan
langsung. Di sinilah kita mebaca bagaimana everyday politics dan resistensi
rakyat dapat berubah menjadi sebuah gerakan sosial dan politik yang terbuka dan
mematikan. Dengan demikian revolusi akan dimulai dengan segala kelebihan dan
dampak buruknya---termasuk bagi masyraakat kebanyakan yang seringkali tidak
mendapatkan 'kepentingan'nya untuk sebuah perubahan besar.