Senin, 09 April 2012

Puisi: Pemberontakan dan Perlawanan Sunyi

Oleh : David Effendi



Pic : ppium.wordpress.com

Ketika saya mencintai puisi-puisi perlawanan saya akhirnya diketemukan dengan sosok Widji Thukul yang tidak pernah aku temui secara langsung. Walau demikian sajak-sajaknya membuat semua otak dan jiwaku bergerak mengamini realitas yang digambarkan oleh Tukul. Dia dikenal sebagai aktifis buruh yang menantang kebengisan penguasa melalui puisi dan gerakan turun ke jalan. Secara individu dia melawan dengan pena dan puisi secara kolektif dia mempunyai tenaga untuk bergerak. Di ujung kehancuran orde Suharto di tahun 1998, dia banyak menumpahkan peluru panas lewat puisi lalu dia hilang sebagai martir---revolusi memakan anak kandungnya sendiri.

Ada dua puisi yang saya analisis untuk memberikan gambaran bagaimana pemberontakan sastra itu menjadi terbuka (manifes) dan juga bisa menjadi tertutup (Laten). Kemungkinan terbuka dan tertutup itu ternyata sudah ditangkap oleh Tukul untuk mengatakan bahwa bibit revolusi dan pemberontakan selalu ada dalam masyarakat yang timpang: miskin dan tertindas. Ketika kekuasaan sangat represif dan kualitas penderitaan tidak tertahankan lagi mereka akan melawan jika ada solidaritas antar buruh dan orang miskin. Jika keadaan masih bisa ditahan, kekuatan terjaga dan diam.

Puisi pertama bunyinya demikian:

Bunga dan Tembok 
seumpama bunga
kami adalah bunga yang takkau hendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah
seumpama bunga
kami adalah bunga yang takkau kehendaki adanya
engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami di manapun-tirani harus tumbang!

Revolusi, dimulai dari keyakinan dan lalu bergerak diumpamakan dengan bunga yang tumbuh bersama-sama di tembok lalu tembok akan runtuh. Itulah proses revolusi yang ternyata mampu menjatuhkan penguasa Orde Baru. Tulisan ini dibuat sebelum Suharto tumbang dan keyakinan itu telah dicatat sejarah sebagai keyakinan yang menemukan realitasnya.
Kedua adalah puisi dimana memberikan gambaran bahwa kekuatan rakyat yang tersembunyi bisa meledak kapan saja. Karena dengan hati-hati rakyat mengungkapkan ketidaksenangan dengan penguasa. Perlawanan sunyi itu diexpresikan sebagai ancaman besar yang akan merongrong penguasa. Puisi itu bunyinya begini:

Peringatan 
jika rakyat pergiketika penguasa pidato
kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasandituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!

Puisi ini mempunyai level provokasi dan efektifitas gerakan organic yang luar biasa. Dia yakin bahwa kekuasaan itu adalah tidak bisa dimonopoli Negara. Kekuasaan dan tenaga adalah milik buruh, milik kaum tertindas, dan kenekatan itu adalah kekuatan yang tidak pernah dimiliki penguasa mana pun. Orang miskin pasti radikal dan radikalitas itu dikendalikan oleh keyakinan bahwa mereka adalah manusia yang butuh kelayakan hidup. Perjuangan kelas adalah bagian darinya dan perjuangan sehari-hari itu muncul dari setiap ekpresi individu ketika menghadapi pahitnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Gosip dan rumor adalah bagian dari kebudayaan wong cilik sehari-hari. Jika penguasa sudah digosipd an diabaikan omongannya maka kekuasaan itu sudah melemah di mata public. Ketika orang tertindas meyakini bahwa Negara lemah, disitulah pemberontakan dimulai.