Oleh : Dr. Bambang Indriyanto
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud
Majalah Newsweek yang terbit tanggal 23 Agustus 2010
menurunkan suatu laporan yang sulit dipahami maknanya tetapi sangat menarik
untuk disimak. Pada cover depannya tertulis the best country in the
world is…. Pada awal artikel tertulis ungkapan yang tidak kalah menariknya
yaitu “forget the world cup, the olympics, even the miss universe pageant.
Theses are globe’s true national champions”.
Untuk menjadi negara yang terbaik di dunia memang tidak
harus menjadi pemenang sepak bola pada World Cup seperti yang baru saja
diselenggarakan oleh FIFA di Afrika Selatan, atau menjadi juara umum pada event olahraga
dunia bergengsi sekalipun sekelas olimpiade, atau mempunyai ratu kecantikan
dunia. Untuk menjadi negara terbaik sangat berkaitan dengan tingkat
kesejahteraan dan kemakmuran warga negaranya.
Survai yang dilakukan majalah Newsweek bekerjasama dengan
ahli kelas dunia seperti Joseph E. Stiglitz pemenang Nobel Ekonomi yang juga
dosen Ekonomi di Columbia University, Jody Heymann, Direktur McGill
University’s Institute for Health and Social Policy dan juga dosen pada McGill
University, serta Geng Xiao, Direktur Brookings-Tsinghua Cencter for Public Policy
di Beijing. Survei ini memusatkan pada national-well being yang
meliputi empat indikator yaitu, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan,
lingkungan politik, dan daya saing ekonomi suatu negara. Penduduk dari negara
ini ditanyai tentang pendapat mereka tentang kondisi keempat indikator
tersebut.
Hasil Survei
Hasil dari survei ini menyajikan national well-being 100
negara dari banyak negara yang disurvei. Finalandia menduduki urutan pertama
berdasarkan pada empat indikator tersebut. Negara-negara Eropa mendominasi
urutan sepuluh besar. Negara Swis berada pada urutan kedua, Swedia pada urutan
ketiga, Luxemburg pada urutan kelima, Norwegia pada urutan keenam.
Negara di luar benua Eropa yang berada pada sepuluh besar
adalah Australia pada urutan keempat dan Kanada pada urutan ketujuh, dan Jepang
pada urutan kesembilan. Dan Indonesia berada pada posisi 73. Negara Asia yang
berada di bawah Indonesia adalah India dan Vietnam masing-masing pada urutan ke
78 dan 81. Malaysia, Thailand, Philipina jauh berada di atas Indonedia masing
pada urutan ke 37, 58, dan 63. Jangan ditanya Singapura berada pada urutan ke
berapa?. Negara ini menduduki urutan ke 20.
Jika kesehatan dan hidup layak dijadikan sebagai indikator
kualitas maka hasil survai menunjukkan, bahwa diantara negara yang padat
penduduk, Jerman menduduki urutan pertama, dan Amerika Serikat mendukduki
urutan kedua, Perancis ketiga, dan dan Turki menduduki urutan ke sepluh,
sedangkan Thailand berada pada urutan kesembilan. Indonesia tidak termasuk pada
urutan sepuluh besar.
Berdasakan pada layanan pendidikan, Finlandia menduduki
urutan pertama, dan negara-negara Asia yang menonjol adalah Korea Selatan,
Singapura, dan Jepang. Masing-masing menduduki posisi kedua, keempat, dan
kelima. Ketiga negara ini mengungguli negara maju seperti Swis urutan ke
keenam, Inggris urutan ke delapan, dan Belanda urutan kesepuluh. Pada kriteria
ini Indonesia juga belum masuk dalam urutan sepuluh besar.
Refleksi
Survei ini menyajikan banyak lagi hasil yang menarik untuk
disimak. Namun tulisan tidak akan menyajikan hasil tersebut. Tetapi yang lebih
penting apa pelajaran yang bisa ditarik dari hasil survei tersebut setelah
Negara Indonesia telah menginjak usia ke 65 tahun?. Sampai dengan saat ini kita
masih bergelut dengan permasalahan kemiskinan, korupsi, kurangnya infrastruktur
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kemacetan lalulintas, dan berbagai masalah
lain saling terkait satu dengan lainnya.
Presiden SBY menyatakan bahwa saat ini kita telah memasuki
reformasi tahap kedua. Apakah makna dari hal itu?. Makna yang utama adalah
saatnya untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran anggota
masyarakat tanpa terkecuali. Keberhasilan suatu pemerintahan tidak lagi diukur
dengan keberhasilan pemberantasan korupsi, rekonsiliasi antar partai politik,
atau reformasi birokrasi. Hal tersebut merupakan target antara agar pemerintah
dapat melaksanakan program pembangunan di berbagai bidang secara transparan dan
akuntabel untuk memberikan layanan pendidikan dan kesehatan secara bermutu dan
merata kepada semua warga negara, serta untuk dapat memberikan lapangan
pekerjaan sesuai dengan kompetensi dan keahlian setiap lapisan masyarakat
Indonesia.
Disamping itu, hasil survai ini menjadi isyarat bahwa
keberhasilan pelaksanaan program pembangunan tidak diukur berdasarkan kriteria
yang ditetapkan secara sepihak oleh perencana program pembangunan. Keberhasilan
program harus diukur berdasarkan pada tingkat kepuasan masyarakat terhadap
hasil pelaksanaan program tersebut. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat
menjadi dasar empiris untuk menyusun suatu program pembangunan, apapun
bidangnya. Bukankan keberadaan pemerintah ditujukan untuk melayani wargannya?.
Penetapan benchmark perlu dilakukan. Fungsi dari benchmark,
paling tidak ada dua. Pertama untuk menjamin bahwa progam pembangunan berada
pada rel yang benar. Kedua, untuk mengukur seberapa tingkat ketercapaian
program pembangunan.
Terdapat tiga strategi untuk menentukan benchmark. Strategi
yang pertama adalah internal benchmarking. Strategi ini dilakukan dengan
menetapkan benchmark berdasarkan pada tingkat ketercapaian program pembangunan
pada periode sebelumnya. Strategi ini efektif jika suatu negara tidak belum
cukup yakin untuk bersaing dengan negara lain. Kelemahannya adalah tanpa terasa
kita akan merasa betapa tertinggalnya negara kita dibanding dengan apa yang
sudah dicapai oleh negara lain. Strategi kedua adalah external
benchmarking. Strategi ini dilakukan dengan merujuk pada apa yang sudah dicapai
oleh negara lain. Jika pemerintah Indonesia sudah siap untuk bersaing dengan
negara lain saatnya untuk menetapkan external benchmarking.
Strategi ketiga adalah generic benchmarking. Strategi
ini hanya dilakukan kalau memang suatu pemerintahan tidak mempunyai sumber daya
yang memadai untuk mencapai benchmark yang ditetapkan. Oleh karena itu strategi
ini merupakan pilihan terakhir.
Ketika pemerintah telah menetapkan suatu strategi benchmark,
terdapat dua langkah yang harus ditempuh. Langkah pertama adalah rekonsiliasi
politik antara legelatif di satu pihak dan ekskutif di lain pihak, dan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Rekonsialiasi ini dimaksudkan
menyamakan benchmark dan langkah untuk merealisasikannya.
Langkah kedua adalah langkah manajemen. Langkah ini
didahului dengan suatu perencanaan yang berdasarkan pada kebutuhan nyata dan
kemudian secara konsisten program tersebut dilaksanakan.Plan the work, then
work the plan consistently. Kalau kita mau, kita bisa.