Oleh : Dr. Muhadji Effendi.,M.AP
Apa ada kaitan antara sepak bola dengan perang?. Jawabnya
ya. Singkatnya, sepak bola adalah bentuk sublimasi dari syahwat manusia
untuk saling berperang. Ia adalah ”perang” yang sudah diperadabkan. Sumber
syahwat itu adalah berasal dari konstruksi diri manusia itu sendiri yang pada
dasarnya terdiri dari unsur-unsur pasangan yang berlawanan (Binary opposision).
Manusia disamping memiliki naluri bekerjasama juga konflik, memiliki perilaku
mempertahankan diri (defensif) tapi sekaligus juga menyerang
pihak lain (agresif).
Perang adalah syahwat yang sama sekali tidak bisa dielakkan
oleh manusia. Manusia hanya bisa membelokkan syahwat itu ke dalam bentuk tabiat
yang lebih sublimatif. Upaya pencarian bentuk ”perang” yang sublimatif itu
sudah dimulai oleh masyarakat primitif, misalnya kebiasaan perang antar mereka
diganti dalam bentuk tarian perang-perangan. Di era modern, Gang-gang anak muda
brandalan di kawasan Manhattan, New York telah mengganti perang antar
Gang dengan tarian yang pernah terkenal yaitu ”Break Dance”.
Perang adalah bentuk ekspresi manusia yang paling fenomenal
dalam melampiaskan naluri bekerjasama dan berkonflik, perilaku defensif
dan agressif secara simultan. Apapun alasannya, akibat dari perang adalah
kehancuran yang berkesinambungan (Collateral damage). Menyadari akibat buruk
sebuah perang itulah manusia mencoba mencari alternatif bentuk ”perang”
yang lain, yang lebih sublimatif, beradab, dan tidak destruktif. Bukan yang
menebar penderitaan tapi menggembirakan. Sementara itu syahwat untuk saling berperang
tetap terlampiaskan dengan baik. Dan, sepak bola adalah bentuk su blimasi
pelampiasan syahwat berperang manusia yang paling sempurna dalam banyak segi.
Bahkan Pepe Escobar, dalam Asian Times Online, menyebut sepak bola
sebagai ”Agama monotheisme terbesar di dunia”.
Ironisnya, sepak bola itu semula justru dimaksudkan untuk
melatih kekuatan, kecepatan dan ketangkasan para prajurit sebelum dikirim ke
medan pertempuran. Menurut Bill Hutchison, dalam tulisannya ”The Essential
History of Soccer” mensinyalir permainan sepak bola yang paling primitif
sudah dikenal oleh tentara China pada masa Dinasti Han, sekitar abad ke tiga
dan kedua sebelum Masehi. Tetapi negara Enggris lah yang dianggap sebagai
tempat lahirnya sepak bola modern. Proses untuk sampai pada bentuknya yang
modern itu sangat berliku. Pernah pertandingan sepak bola dijadikan ajang
perang sungguhan antar penduduk yang bermusuhan. Sekitar abad VIII ada
pertandingan sepak bola yang bolanya menggunakan penggalan kepala
manusia. Yaitu kepala panglima perang musuh, seorang pangeran dari kerajaan
Denmark yang dalam sebuah pertempuran pasukannya dikalahkan oleh tentara
kerajaan Enggris. Lantaran brutalitas yang terkandung dalam sepak bola itu
mendorong Raja Edward III pada tahun 1331 menetapkan undang-undang larangan
pertandingan sepak bola, berikutnya Ratu Elizabeth I menerapkan undang-undang
serupa dengan hukuman satu minggu dan kerja paksa di pusat pelayanan gereja
bagi para pemain bola.
Keterkaitan antara perang dengan sepak bola juga bisa
diamati dari istilah-istilah yang digunakan dalam permainan paling populer ini.
Misalnya, defender, striker, wings, off side, front line, back line,
captain adalah istilah yang digunakan dalam dunia pertempuran. Sebetulnya
bukan hanya sebatas istilah saja bahkan doktrin permainan ini juga mirip
doktrin pertempuran. Pemain sepak bola dan tentara sama-sama memiliki suasana
mental yang didominasi oleh sikap pesimis dan pemikiran negatif.
Sebagai salah satu implikasi sikap pesimis adalah, baik
pemain bola maupun tentara, sama-sama ”tidak berani” sendirian. Mereka harus
bersama-sama. Satuan terkecil tentara adalah regu, antara 7-10 personnel,
sementara satuan sepak bola adalah kesebelasan. Karena itu tidak ada sepak bola
pemainnya hanya satu orang. Begitu juga tidak ada tentara maju ke medan perang
sendirian, kecuali hanya dalam film ”Rambo” yang dibintangi oleh Silvester
Stallone itu. Sekalipun film perang itu sangat terkenal, konon sampai
digemari oleh mendiang presiden Ronald Reagan, tapi dilihat dari teori militer
ia adalah karya film perang yang paling bodoh dan konyol yang pernah dibikin
manusia.
Karena sikap pesimistis itu maka baik pemain bola maupun
prajurit harus membuang jauh-jauh sikap egosentris. Mereka harus menyadari
bahwa kalah- menang, hidup-matinya sangat tergantung kepada anggota yang lain.
Karena itu baik sepak bola maupun prajurit sama-sama bersandar pada kesetiaan
korps yang ditunjang oleh disiplin tinggi. Talenta dan kekuatan individual
memang sangat diperlukan baik dalam kesebelasan maupun satuan tempur, tetapi
kalau itu menjelma menjadi egosentrisme dan mengalahkan solidaritas dan
disiplin korps akan menjadi tidak ada artinya bahkan bisa membahayakan. Dalam
laga piala dunia ini dapat disaksikan, kenapa kesebelasan yang bertabur
bintang tetapi penampilnya hingga saat ini, –meski lolos putaran berikutnya–
mengecewakan. Misalnya yang terjadi dalam kesebelasan Enggris. Beckham, de
facto bukan satu-satunya kapten di kesebelasan “Three Lions”. Ada Gerald
(Liverpool), Neville (Manchester United), Terry (Chelsea). Masalahnya mereka
adalah kapten di club asalnya dan masih merasa tetap menjadi kapten di dalam
kesebelasan Enggris.
Pemain bola dan tentara sama-sama berpemikiran negatif
dominan. Implikasi psikologis yang paling normal dari pemikiran ini
adalah selalu waspada, hati-hati, penuh kalkulasi, sedang upnormalnya
adalah sikap menjadi serba curiga dan paranoia. Pemain bola maupun prajurid
memang seharusnya selalu waspada bahkan sering-sering curiga, bukan hanya
kepada gerak gerik lawan yang harus selalu dimaknai sebagai ancaman, bahkan
teman sendiri pun harus dicurigai, jangan-jangan ia membuat kesalahan. Karena
betapa kecilnya suatu kesalahan, adalah sangat berbahaya. Karena hal itu bisa
berarti peluang bagi lawan untuk menghancurkannya. Bagi pemain bola, hal itu
bisa berarti terciptanya gol oleh lawan, sedang bagi tentara bisa berarti
kematian.
Dalam sejarah piala dunia, event ini tidak jarang
dibayang-bayangi oleh perang dan konflik, baik yang sedang, maupun yang telah
lama terjadi. Dalam piala dunia kali ini, misalnya, tatkala kesebelasan Potugal
berhadapan dengan Angola, ada bayang-bayang sejarah konflik masa lalu antara
Portugal sebagai penjajah dengan Angola sebagai yang terjajah. Dalam Piala
Dunia 1986, tatkala kesebelasan Argentina mengalahkan kesebelasan Enggris pada
babak perempat final, bagi rakyat Argentina seakan kekalahannya dari Enggris
dalam perang Malvinas terbalaskan. Jika dalam ajang Piala Dunia ini kesebelasan
Enggris bertemu kesebelasan Argentina kembali, dugaan saya kenangan Perang
Malvinas juga masih akan muncul kembali.
Keikutsertaan Iran dalam piala dunia kali ini disambut aksi
demontrasi oleh komunitas Yahudi dan simpatisannya yang memprotes
pernyataan presiden Iran, Ahmadinejad yang anti Semit. Tetapi sebaliknya
kesebelasan Iran memperoleh dukungan sangat besar dari kalangan Neo Nazi di
sana.
Piala Dunia kali ini sebetulnya juga dibayang-bayangi oleh
perang. Setidak-tidaknya perang pernyataan, antara presiden Bush dengan
Ahmadinejad mengenai masalah program nuklir Iran. Sayang kesebelasan Iran
dan Amerika Serikat tidak berada dalam satu group. Dan keduanya sama-sama
terpental pada putaran pertama. Seandainya kedua kesebalasan bisa bertemu dan
Ahmadinejad jadi datang memberi dukungan bagi kesebelasan negaranya, sementara
George W Bush tidak mau tinggal diam juga datang memberi dukungan kepada
kesebelasan Amerika Serikat, tentu pertandingan Iran melawan Amerika Serikat
akan sangat seru. Bisa lebih seru dibanding babak finalnya. Dan mungkin Bush
pun tidak lagi bersemangat akan menyerang Iran, karena syahwat agresifnya telah
terlampiaskan di medan Piala Dunia.
Sumber : http://muhadjireffendy.com/?p=4