Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Anggota Divisi Kajian dan Riset Lapsi
Anggota Divisi Kajian dan Riset Lapsi
RSBI dan SBI sejak lama diduga menjadi pelopor diskriminasi dalam dunia
pendidikan. RSBI dan SBI, sekolah reguler ataupun akselerasi dicirikan oleh
kurikulum, alokasi waktu pembelajaran, sarana dan prasarana. Perbedaan ini
berpangkal pokok pada tujuan dan sasaran dari masing-masing jenis satuan
pendidikan. RSBI dan SBI mencolok pada
upayanya menghasilkan kualitas lulusan dengan akreditasi yang dianut oleh
Negara Anggota Organisation for Co-Operation and Development (OECD). RSBI dan
SBI pun dianggap lebih dari sebuah label karena pemenuhan atas
kriteria-kriteria seperti, tersedianya pendidik strata dua (S2), penggunaan
bahasa internasional, dan sejumlah kegiatan pembelajaran serta alokasi waktu
yang berbeda dengan satuan pendidikan lain.
Mahkamah
Konstitusi pada selasa (08/01/2012) telah menjatuhkan keputusan dalam perkara
permohonan pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional terhadap; Pembukaan, Pasal 28C ayat (1);
Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2),
Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 36 UUD 1945, dengan akhir pembubaran RSBI dan SBI.
Ayat yang menjadi masalah tersebut berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.”
Terhitung
sejak 28 Desember 2011 surat permohonan pengujian UU sudah diajukan kepada
Kepaniteraan Mahkamah dengan berkas yang sebelumnya sudah tercatat sejak 11
Januari 2011. Tujuh pemohon yang terdiri dari swasta, dosen, dan orang tua murid
yang dibantu oleh Tim Advokasi “Anti Komersialisasi Pendidikan” akhirnya
berhasil menuai kerja keras dalam kurun waktu yang cukup lama yakni dari 2011
sampai 2013. Setidaknya ada tiga alasan penting yang dibawa oleh pemohon dalam konteks “Legal Standing” sebagai pemohon, pertama,
adalah penggunaan APBN sebagai salah-satu sumber pembiayaan RSBI dan SBI; kedua, kekhawatiran akan terjadinya
penyimpangan dalam pengelolaan dana RSBI dan SBI; terakhir mengenai pemungutan RSBI dan SBI yang dianggap janggal
dikarenakan alasan pertama.
Akhir dari (R)SBI
Ada
1.300 RSBI dan SBI yang menerima Alokasi dana Block Grant yang berkisar antara
200 sampai 300 juta per tahun untuk jenjang satuan pendidikan dasar sampai
menengah yang selama ini berjalan otomatis harus dialihkan kedalam program lain
karena keputusan pembubaran RSBI dan SBI oleh MK. Pengalihan dana Block Grant
ini harus mencermati dan memaknai persoalan dana Block Grant yang sudah pernah
beberapa kali menimbulkan polemik.
Dana
Block Grant ini tentu adalah masalah yang tidak kalah penting dibandingkan alasan-alasan
ideologis dan paradigmatik atas keberadaan RSBI dan SBI, serta alasan-alasan
lain yang berbicara dengan wacana tentang hak-hak warga negara untuk
mendapatkan kualitas pendidikan tanpa diskriminasi. Tercatat pada pertengahan
tahun 2012, mencuat sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan PNS dalam
kasus korupsi dana Block Grant senilai 1 M di Mojokerto bulan Juni, serta
sejumlah kasus serupa yang melibatkan petinggi/elit pendidikan semisal yang
terjadi di Kab. Tangerang pada bulan agustus.
Akhirnya,
RSBI dan SBI adalah dinamika dunia pendidikan bagi Indonesia. Keberadaan RSBI
dan SBI pada bermacam sisi menyulut pro dan kontra. Sebagai dinamika dalam
sistem pendidikan, RSBI dan SBI bisa jadi adalah respon terhadap kebutuhan akan
upaya pembangunan kualitas SDM yang lebih mudah terlihat dan secara kongkrit
hadir melalui lembaga pendidikan formal. RSBI dan SBI bisa jadi juga adalah
cara sistem pendidikan membuka upaya kreatif dalam artian menumbuhkan minat
kompetitif positif penyelenggara pendidikan. Dibubarkannya RSBI dan SBI tidak
serta merta menjadikan permasalahan telah selesai, perlu dipikirkan juga
mengenai biaya perawatan fasilitas, sarana dan prasarana, serta tunjangan bagi
para pendidik. Selain itu juga, kemungkinan akan adanya minat yang besar dari
orang tua murid berbondong-bondong berpikir untuk memindahkan anaknya ke bekas
sekolah RSBI dan SBI, bagaimana dengan persoalan pembiayaan?. Penggunaan
kurikulum International Baccalaureate juga entah akan bagaimana nasibnya kelak,
karena bahan ajar atau kurikulum ini juga memerlukan dana. Pemerintah memang
memiliki alasan atas keberadaan RSBI dan SBI, misalnya, sebagai jawaban atas
tuntutan sebagian masyarakat yang menginginkan wadah pendidikan berkualitas
didalam negeri. Sehingga murid tidak perlu keluar jauh meninggalkan sanak
famili ke luar negeri hanya karena mengejar mutu pendidikan.
RSBI
dan SBI yang kemudian disamaratakan menjadi sekolah “biasa”, bagaimanapun juga
akan tetap memperlihatkan perbedaan. Jika semangat penolakan RSBI dan SBI adalah
spirit hak kesetaraan menerima kualitas pendidikan tanpa ada diskriminasi, maka
ini malah menambah pertanyaan yang tidak kalah rumitnya. Kualitas pendidik
tidak merata, bahkan cenderung hanya menggemuk pada beberapa regional maju
saja, sedangkan di regional pelosok tentu masih harus menempuh perjalanan cukup
jauh untuk mengupayakannya (kualitas
guru). Serta bahan bacaan dan update informasi mengenai konten mata pelajaran
terutama dalam bidang sains. Alasan bahasa penggunaan bahasa internasional dalam
RSBI dan SBI yang juga turut disorot karena dikhawatirkan akan menghilangkan
jati diri bangsa, tidak sepenuhnya dapat diterima. Penguasaan bahasa tidak
selalu berjalan searah dengan kecintaan terhadap bahasa. Penghargaan terhadap
bahasa-bahasa lokal mungkin hanya secara khusus menjadi mata pelajaran mandiri
untuk beberapa jenis bahasa saja, semisal bahasa jawa.
Kastanisasi
pendidikan yang dianggap tercermin dari hadirnya RSBI dan SBI bukan hal yang
baru. Dimana-mana kastanisasi pendidikan selalu ditandai dengan adanya
penggolongan dan pembedaan dari biaya operasional pendidikan yang harus
dibayarkan oleh pihak penerima layanan pendidikan. RSBI dan SBI sebagai bentuk
kastanisasi untuk beberapa aspek dapat diterima dan dapat juga ditolak.
Meskipun Penggolongan murid RSBI dan SBI serta sekolah reguler bukanlah
penggolongan kastanis, tapi penggolongan permintaan kualitas, serta permintaan kebutuhan variatif dari peserta didik, namun tetap saja ini
dianggap bertentangan dengan undang-undang yang telah menjamin pendidikan bagi
setiap warga negara. Pada dasarnya
pendidikan bebas diterima oleh siapa saja yang idealnya difasilitasi oleh
pemegang kekuasaan. Entah bagaimana pemerintah akan berupaya membangun
pendidikan tanpa harus mengorbankan kualitas dan tanpa harus mengorbankan hak
warga negara. Entah bagaimana juga sekolah-sekolah dengan bentuk lain yang
sebenarnya tidak berbeda dengan RSBI dan SBI yang juga menyerap dana
operasional tidak sedikit dan menampakkan kastanisasi karena hanya melayani
kaum berduit akan diatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar