Oleh : David Efendi, SIP, M.A
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY
Perjalanan negara
ini, setiap penghujung tahun selalu diuji dengan bencana alam. Baik karena natural
disaster (murni kejadian alam) maupun human made (kesalahan
manusia/tekhnologi). Termasuk akibat sengketa dan konflik antarwarga sebab
sentimen SARA.
Kita
ingat, pada akhir tahun 2004 ditutup dengan ratap tangis korban Tsunami di
Aceh, akhir tahun 2009 ditutup dengan suasana pedih korban gempa Padang, akhir
tahun 2010 letusan gunung merapi meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya.
Sedangkan tahun 2012 yang konon kabarnya adalah tahun 'kiamat' ditutup dengan
serentetan duka konflik antarwarga. Termasuk sengketa iman, rebutan lahan,
sentimen SARA semua itu semakin menegaskan, gagalnya peran negara.
Kejadian
di Lampung, dilihat dari kacamata kami, warga yang tinggal di luar daerah yang
dikenal sebagai say bumi ruah jurai itu mengisyaratkan integrasi bangsa ini
rapuh dan proses pembangunan bangsa ini juga memang benar- benar belum usai.
Menurut istilah Max Lane, unfinished nation state building. Artinya, bangsa
ini terus dihantui oleh ancaman disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan
budaya--kapan dan dan tanpa dapat diprediksi dengan tepat ibarat letusan gunung
merapi.
Apa
yang mesti dikoreksi dari lintasan kejadian selama tahun 2012 ini. Mengutuk
pemerintahan yang absen, terlalu sibuk pencintraan, dan penyelamatan diri dari
jaring anti-korupsi dan sebagainya tentu saja belum cukup.
Kerentanan
sosial dan politik ini, salah satunya, dapat dibaca dari konsep 'governability'
dimana negara yang menurut Marx Weber adalah lembaga yang secaa syah
menggunakan kekerasan itu tidak dapat difungsionalisasikan dengan tepat
sehingga justru paradok yang muncul. Paradok artinya kehadiran dan
ketidakhadiran 'negara' itu keduanya membawa 'petaka' bagi eksistensi kedamaian
dan kerentanan sosial. Jika 'negara' yang sering diharapkan peran 'pembawa
kebiakan umum' saja gagal menjalankan fungsi dasarnya tentu saja psimisme
bangsa akan melanda sampai ke level paripurna. Wajar saja, komunitas Anti-Tank
di Yogyakarta mempublikasikan seruan untuk 'jangan pernah perecaya kepada
pemerintah' dan juga menyebutkan bahwa itu penuh “kebohongan|” dan “bajingan”
(dengan gambar gedung MPR melatarinya).
Trust
masyarakat telah dibunuh oleh pemerintah itu sendiri sehingga klimaknya,
setelah ada gambar Budiono: antara ada dan tiada, lalu muncul di dunia maya
mengabarkan kehilangan sosok presiden: Dimana atau kemana presiden pada saat
silang sengkurat antara Polri dengan KPK. Sinyalemen pelemahan negara oleh
pembajak demokrasi dan elit pembunuh keadilan itu kemudian bermuara pada
ekpresi masyarakat tentang 'kegagalan negara dan kebohongan negara' yang juga
menimbulkan kegaduhan politik yang sangat serius----lantaran, negara menjawab
kritik dengan membalas kritik sehingga ada upaya menjawab dengan kerja keras
dan kejujuran untuk menyampaikan fakta. Inilah sebab kegaduhan dalam
pemerintahan 'yang mengedepankan pencitraan ketimbang menjawab kebutuhan riil
publik.
"Kepolisian
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”
Demikian dictum dari pasal 5 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian di Negara
kita. Jelas idealnya, lembaga Negara ini diharapkan menjadi bagian dari solusi
baik prefenstif maupun penindakan tetapi dalam praktiknya, lembaga Negara baik
kepolisian maupun TNI justru menjadi part of problem. Kasus sengketa wewenang
POLRI dengan KPK, TNI dengan insane media (di Ambon baru-baru ini setelah
kejadian di Riau) dan sejarah republik ini nampaknya oknum ‘pengguna kekerasan
secara sah’ ini kerap kali kontraproduktif dengan pembangunan politik dan
demokrasi.
Kondisi
ini tidak 100% murni kesalahan TNI ataupun polisi karena sebenarnya dalam batas
tertentu mereka sudah sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi
dan batasan isu Hak Asasi Manusia namun ada beberapa kondisi yang menjadikan
posisi ‘agen’ jasa keamanan resmi ini dalam situasi delematis. Satu sisi, laiknya
Negara transisional oknum ‘keamanan’ diharapkan mampu menjadi katalisator dari
berbagai upaya kelompok baik yang pro dengan strategi kekerasan (GAM di Aceh,
OPM di Papua, kelompok pro integrasi dan merdeka di Timor-Timur) dan
sebagainya. Namun, di sisi lain ada batasan dan penghargaan terhadap kebebasan
sipil dalam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berserikat.
Dalam
situasi chaos seperti tahun 1998, 2003, konflik ‘SARA’ dan juga di penghujung
tahun 2012 ini ‘negara’ benar-benar dalam keadaan sulit untuk memastikan
masyarakat hidup dalam damai. Kita lihat, serentetan konflik antar desa, antar
suku, antar aliran kepercayaan/agama terus terjadi dan Negara dihadapkan kepada
dua pertanyaan besar dari kedua belah pihak baik yang menghendaki peran kuat
Negara atau yang menghendaki tegaknya Hak Asasi Masyarakat Sipil. Satu kelompok
mempertanyakan kemana Negara di saat situasi perang/konflik? Dan satu sisi
melontarkan kenapa Negara bersifat represif dan tidak memanusiakan manusia?
Mencari Solusi
Setidaknya
ada dua penjelasan solusi. Pertama, jika persoalan tawuran, geng motor, konflik
antar keyakinan agama, dan pilkada adalah dianggap sebagai ekpresi protes dari
ketidakadilan yang terjadi secara luas dan akibat Negara gagal menegakkan janji
kesejahteraan maka pemerintah harus menjawab dengan kerja nyata perbaikan
ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan, secara nyata dan integral dengan tempo
yang sesingkat-singkatnya dan dengan komunikasi yang proporsional selama
program itu berlangsung tanpa tendensi politik musiman (baca: kepentingan
pemilu 2014).
Dan
kedua, apabila persoalan kekerasan dan banalitas masyarakat yang menggejala
akhir-akhir ini akibat dari kegaduhan politik, korupsi, dan hilangnya
kepemimpinan yang berkarakter pro- rakyat (strong leadership) atau dalam bahasa
agama keteladanan pemimpin (authentic leadership) maka harus ada upaya yang
sangat radikal untuk menghukum ‘pejabat’ bermental busuk dengan cara-cara yang
diluar kebiasaan mekanisme birokrasi. Gebrakan melawan mentalitas permisif
itulah yang sekarang dibutuhkan tanpa kehilangan dukungan moral publik.
Jika
makna toleransi justru dipelihara untuk melegalkan kejahatan terhadap bangsa,
maka wajar saja dan akan terus mengalami siklus kekuasaan elit yang bersifat
predator dan kanibal yang pada endingnya nanti baik secara langsung maupun tidak
langsung, secara radikal maupun konvensional akan turut andil meruntuhkan
Indonesia. Jika demikian kondisinya, tahun 2013 akan diliputi kabut hitam untuk
mimpi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera
Sumber : koraneditor.com, (2 Jan 2013)