Senin, 09 April 2012

Sandal Jepit, Kaos Oblong, "Sepeda Ontel"

Oleh : David Effendi


Pic : randublatung.wordpress.com

"Sandal jepit, kaos oblong, dan sepeda ontel adalah simbul dari revolusi besar yang kita tidak akan pernah memahami sebelum kita betul-betul mengerti bahwa kekuasaan itu milik semua orang"
(--David Efendi)

Suasana hujan dan dingin ini harusnya menjadikan kita semakin sensitif akan persoalan sekeliling kita. Banyak hal yang menjadikan kita mesti banyak membaca keadaan dan menceritakan ke khalayak. Banyak sekali orang yang tahu keadaan buruk tetapi enggan bertutur, ada yang mengalami penindasan tetapi tidak berupaya untuk mengubahnya. Jika ada teori gerakan sosial tentu itu hanya milik kaum elit, setidaknya itu klaim yang pernah ada. Suatu gerakan yang efektif itu nampaknya harus diperjuangkan oleh orang yang bukan hanya pihak kurban tetapi orang diluar dirinya. Buruh tidak harus berjuang sendirian begitu juga mahasiswa. Ini salah satu tanda geliat baru gerakan sosial. Tetapi kita akan bicara betapa tidak langsungnya semangat perlawanan itu jika dikontekskan dengan upaya merubah secara radikal. 

Setidaknya ada beberapa fenomena yang mengalami apa yang disebut aksi-reaksi, dan paradok sosial. Pertama, ketika situasi mengakibatkan kesulitan mengakses pendidikan tinggi. Tetapi beberapa orang sibuk memikirkan cara berpenampilan yang perlente sebagai mahasiswa. Ini penyakit pertama yang mengakibatkan kaos oblong dan sandal jepit dilarang masuk ruang dosen. Kedua, ketika demokratisasi disambut dengan retorika pelayanan masyarakat keadaan sebaliknya terjadi yaitu pada saat orang harus bekerja sehari-hari dengan keringat bercucuran ada banyak kantor pemerintahan yang melarang rakyatnya masuk kantor dengan pakaian butut. Pakaian butut dianggap tidak sopan dan tidak menghargai etika budaya setempat. Terakhir, pada saat jalanan macet orang "normal" akan berfikir jalan kurang lebar perlu dilebarkan, ada yang agak kritis, uang pembangunan jalan ditilep masuk kantong pejabat (baca: penjahat). Ada juga yang dengan cara lain punya usulan agar jalan dibiarkan begitu saja kalau perlu dipersempit (pembahasan lebih lanjut akan ada dibagian akhir). Kelompok lainnya lebih memilih tidak berkomentar dan terus saja mengayunkan sepede ontel atau becak di saat lampu lalu lintas menyalah merah. Kenapa?

Lihatlah apa yang 'mereka' perbuat
Tahun 2002-2010 saya dikampus besar di Yogyakarta di sana banyak cerita dan fakta. Bahkan sampai tahun 2012 saya di kampus di negara bagian Amerika--Hawaii. Situasi dan kebudayaan memang berbeda. Tetapi seharusnya cara berfikir dan bertindak tidak jauh beda jika kita percaya pada akal sehat dan rasionalitas itu sendiri. Orang sering bilang orang barat lebih mengutamakan rasionalitas alat(instrumental rationality) ketimbang rasionalitas nilai (value rationality, see Weber). Nilai dan moralitas serin dilekatkan pada masyarakat Timur. Ini adalah oposisi biner yang sudah saatnya ditumbangkan. Apa yang kita sebut rasionalitas nilai di masyarakat sering berujung pada rasionalitas alat dan nilai semu (baca: rasionalitas emosi). Hal ini menjadi masuk akal karena, sebagaimana budaya dan identitas, nilai-nilai itu adalah hasil rekayasa dan konstruksi kelas berkuasa sehingga munculnya tata nilai-nilai itu bias kelas sosial (Karl Marx). Kelas sosial tinggi (borjuasi) menciptakan tatatanan yang harus dianggap lebih beradab oleh golongan di bawahnya. Inilah penindasan itu.

Salah satu contoh, mahasiswa tidak boleh bersandal jepit dna kaos oblong dalam perkuliahan. Tidak akan dilayani di bagian kemahasiswaan. Ini terjadi di UGM. kampus besar itu sering memajang tulisan"Tidak melayani Mahasiswa yang bersandal jepit dan kaos oblong", atau ada gambar sandal dan kaos oblong dengan palang merah-nya.  hal ini berlaku pula untuk pelayanan pemerintahan di desa dan kecamatan juga di leval lainnya. Rasionalitas sebagai pelayan rakyat berubah menjadi pengatur kehidupan rakyat bahkan sampai hal-hal yang privat (orang memakai baju dan sandal saja diatur). Artinya kejahatan terhadap privasi itu luar biasa.

Tetapi banyak cara mahasiswa bisa lakukan. Walau mereka pakai sandal jepit dan kaos oblong mereka toh bisa masuk kantor dan dilayani. Caranya? (1) Meminjam teman yang pakai sepatu dan baju yang sedang dipakainya, bahkan saya lihat sendiri mereka bertukar alas kaki dna baju tepat dihadapan petugas kantor jurusan. Seolah mahasiswa itu ingin mengatakan sesuatu, yang hanya dia dan malaikat yang tahu. Tetapi kita tahu bahwa itulah bentuk perlawanan yang tidak langsung. Expresi hal ini sering juga terjadi bagi pejalan kaki di trotoar yang memilih berjalan di aspal dengan konsekuensi ditabrak dari belakang karena keadaan trotoar sangat buruk.

Kasus yang sama terjadi pada pengendara sepeda ontel dan becak. Seringkali kita lihat becak dan sepeda ontel jalan ketika rambu lalu lintas berwarna merah. Karena dia tahu, kalau ikut berhenti akan mendapatkan kesulitan bergerak ketika ratusan motor dan mobil menghimpit kanan dan kiri. Selain itu dia ingin keluar dari jebakan stress dalam lalu lintas yang notabene bukan kenadaraan mereka penyebabnya. Kadang mereka dihentikan oleh polisi dan dibilangi oleh polisi bahwa rambu lalu lintas berlaku untuk semua tidak peduli bermesin atau tidak. Tetapi, kalau pun mereka berhenti biasanya jauh di depan garis putih tanda batas jalan. Menyikapi kemacetan mereka tidak terlalu pusing apalagi memikirkan jalan dilebarkan, bagi mereka, bukan itu masalahnya tetapi ada sesuatu yang harus dikerjakan pemerintah tetapi mereka tidak mau menyampaika secara langsung. Mereka tidak pernah sibuk dengan urusan aturan pembatasan kendaraan. Salah satu hal yang mereka kecewakan adalah 'angkuhnya para pengendara mesin itu). Beberapa seniman dengan snatainya mengambar mural, "jangan bawa mobil ke jogja, makin macet kotaku." Ekpresi ini muncul karena memang seniman itu harus melukiskan walau dia tidak langsung meminta pemerintah melakukan sesuatu itu sudah jelas artinya.Cara lain yang lebih simple adalah dengan mengenakan jaket dan celana lebih panjangd dari sandal jepitnya. Memenuhi aturan itu 'pantangan' tetapi tidak harus mengatakan bahwa kita tidak suka dengan aturan itu. Ini mahasiswa, bukan petani, tetapi cara dan expresinya kenapa sama? (baca James Scott 1987 tentang weapon of the weaks) Apa karena sistem paradigma atau budaya sama? apakaha mahassiwa itu berasal dari lingkungan petani? 

Orang bilang ekspresi tidak langsung itu tidak ada dampaknya terhadap perubahan (Matondang 2012). Maybe YES maybe NO. Satu hal yang sering kita tidak sadari adalah justifikais kita terhadap masyarakat kebanyakan yang tidak mampu menghubungkan masalah hulu (permukaan) dengan persoalan di hilir (akar masalah). "Ketidakmampuan" itu sebenarnya bukan satu hal yang penting tetapi memang karakter individu-individu itu tidak terorganisir dan memang menjadi persoalan sehar-hari yang dekat dengan mereka. Jika menemukan akar masalah dan bergerak mengubahnya itu namanya bukan everyday politik tetapi sudah menyangkut tipe politik lainnya yang bergerak kearah advokasi dan politik konvensional. Sekali lagi, "ketidakpahaman" dan "ketidaktahuan" itu hanya justifikasi kita. Pada umumnya mereka tahu apa dan bagaimaa pemerintah (pengambil kebijakan) harus bertindak tetapi mereka tidak mengatakan itu karena itu sudah melewati batas posisi dirinya sebagai individu--rasionalitas mereka adalah memahami posisi dan situasinya. 

Dari kasus-kasus tersebut, artinya peraturan-peraturan itu tidak akan mengubah keadaan dan cara mahasiswa atau pengguna jalan umum? TIDAK selalu, bahkan kecil kemungkinan, bahkan cenderung ada "pembangkangan" secara diam-diam. Secara diam-diam mereka menolak situasi yang sulit dalam kehidupan yang dihimpit oleh kapitalisme baru dan buruknya pelayanan pemerintah tetapi cara mereka mengespresikannya sangat tidak langung dan bahkan tidak ada niat untuk mengubahnya. Namun pembangakan diam-diam ini jika sudah menjadi rumor, gosip, dimana-mana akan memungkinkan untuk menjadi suatu yang dapat menggerakan perubhan. Ini kemudian diyakini sebagai the power of gossip atau the power of everyday politics. Demikian semoga ada manfaat bagi pembaca.