Minggu, 25 Desember 2011

Kyai Dahlan, Gandhi dan Weapons of the Weak

Oleh : David Effendi


Tulisan ini bagian dari seri ‘kemenangan kecil’ yang ketiga. Beberapa hari ini saya melototi banyak buku dan jurnal international tentang kemiskinan, pemiskinan. Saya ‘dipaksa’ membaca ini karena saya megambil kuliah public policy selain itu saya dipaksa oleh diri sendiri sebab kemiskinan itu terasa dekat dengan diri saya dan komunitas atau bangsa dimana saying tinggal dan mengatakan sebagai tanah airku, sebagai bangsaku yang diproklamirkan sebagai rasa nasionalisme. Rasa mencintai dan memiliki itulah yang menggerakkan jiwa ragaku sampai belajar jauh di tengah samudra pasifik ini. Meski banyak orang mengatakan rasa kebangsaan hanya ilusi (’imagined community‘-Ben Anderson), fatamorgana dan meaningless di zaman internet yang menerebas sekat-sekat geografi tapi bagi saya (masih percaya) bahwa nasionalisme adalah nilai-nilai utama untuk membangun ketertiban dunia, menjamin kebaikan untuk peradaban meski kadang juga mengamini kata Braulliy bahwa nasionalism is nothing but politics. Setidaknya saya bisa mencontoh ‘nasionalisme’ yang ditunjukkan dua orang inspiratif yang saya jadikan judul tulisan sederhana ini.

Dari buku sejarah, ketika mendiskusikan kemiskinan, penjajahan, imperealisme, saya menemukan dua nama yang singgah lama di kepala saya. Kedua orang inspiratif itu saya anggap sebagai the great man yang memulai hidup perjuangannya dari kemenangan-kemenangan kecil yang ditelateni, dijalani dengan penuh dedikasi dan mimpi yang besar. Dengan segenap hati saya sangat kagum: Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) dan Mohandas Karamchand Gandi (1869-1948) atau yang dikenal Mahatma Gandhi. Mereka mungkin ‘seangkatan’ kalau saja mereka sama-sama ‘kuliah’ di Saudi Arabia, atau di Leiden, atau di Harvard. Kyai Dahlan berjuang dari Kampung di Indonesia sedangkan Gandi di daerah kecil di India. Jika Dahlan menghadapai belanda dan Jepang, Gandi yang tubuhnya ringkih Nampak perkasa berdiri menentang kolonialisme Inggris.

Belajar tentang poverty knowledge, di zaman sekarang di negeri barat tidak hanya mencari sebab dan akibat, mendiskusikan marxis dan liberal atau sejenisnya tapi juga memulainya dengan definisi, metode dan filosfisnya sehingga sangat memberatkan kepala dan pikiran lantaran bahasa inggris masih grotal gratul dan menemukan terminologi yang aneh dan bermacam-macam. Selain terminology juga mempelajari kemiskinan dalam konteks Amerika menemukan berbaga bentuk organisasi dan asosiasi. Masing-masing presiden mempunyai kebijakan yang beragam bahkan kadang bertolak belakang dengan presiden sebelumnya misalnya Nicon administrasi dengan Reagen, Obama dengan Bush, dan seterusnya. Maklum, semenjak tahun 1950-an riset mengenai kemiskinan sudah menjadi industry di USA hingga kini menjamur kelompok peneliti dengan berbagai ideology di belakangnya. Dan industry riset itu pun bertarung dan mengejar privilege untuk mendapatkan budget riset dari pemerntah atau perusahaan besar . Hal yang mirip-mirip terjadi di Indonesia pada saat menentukan jumlah korban bencana alam, sata menentukan keluarga miskin, anttara BPS, birokrat, NGO dan hasil riset akademik mereka tidak pernah akur untuk menentukan grafik dan kuantitas-kualitas data. Mereka juga memunyai klaim-klaim pembenar dan methodenya. Persis, dikatakan Weber bahwa birokrasi hari ini menduduki posisi yang powerful dalam politik dan kebijakan yang mana dari tangan birokrasilah ‘kebenaran data’ itu bersumber dan dijadikan referensi policy-maker.

Jika konteks Amerika kemiskinan menurut Wilson disebut underclass disebabkan oleh factor industrialisasi, menguatnya kelas menengah, dan juga kebijakan Negara dalam konteks Indonesia ketiga hal itu tetap sangat penting untuk dijadikan analisa tapi dalam konteks zaman Kyai Dahlan dan Gandhi tentu kolonialisme dan imperealisme menjadi factor utama pemiskinan dan meluasnya kebodohan akibat tidak dibukanya akses pada dunia ilmu. Karena kepentingan kaum imperealisme mereka hanya membuka kran kecil bagi kaum bangsawan untuk dididik dan kemudian mereka menjadi agen mengekspolitasi sesama bangsanya sendiri. Bagi saya pribadi, politics ethic is nothing but politics. Inilah sebabnya kemiskinan itu parah dan berlangsung berates tahun lamanya.

Soal kemenangan kecil itu dari sini bermula. Kyai Dahlan hidup di zaman penjajahan belanda karena diuntungkan di daerah kraton dia tidak lantaran terancam oleh belanda. Kesadaran untuk belajar tumbuh dan menghasilkan kepekaaan social. Jiwanya ingin merdeka dan memerdekan. Walau demikian ia tidak lantaran melawan belanda secara frontal tapi berfikir jangka panjang dengan mengajarkan ilmu, membuka sekolah, dan merekrut guru dan lalu membantuk organisasi yang dinamai Muhammadiyah. Hari ini ribuan sekolah dan ratusan panti asuhan dan rumahsakit-nya tersebar dari seluruh Indonesia. Dan recovery korban penjajahan itu sebenarnya iamulai dari hal-hal kecil, dari rumahnya, gang sempit kampungnya, musholah, dan daerahnya. Dahlan mengenalkan pentingnya pembumian ajaran agama tidak hanya dihafal dan dimiliki di dalam rumah tapi harus mempu ditransformasikan dalam kehidupan nyata dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Zaman itu, langkah ini kelewat berani bagi seorang pemuda kampong bukan anak raja. Wajar saja, meski pasca kemerdekaan, dalam surat Bung Hatta ke Soekarno yang diterbitkan dalam buku Demokrasi Kita, disebutkan bahwa Dahlan diancam dibunuh oleh oknum tertentu (mungkin kelompok komunis, mungkin juga militer, atau kedua belah pihak) Karena kuatnya pengaruh Dahlan di masyarakat Indonesia terutama kalangan santri. Inilah kemenangan kecil yang menjadi besar setelah seabad lamanya. Jadi untuk sebuah cita-cita luhur perlu perjuangan yang panjang dan melelahkan.

Bagaimana dengan Gandi? Ini betul betul sosok yang luar biasa. Cerita hidupnya dibaca oleh ratusan juta ummat manusia dibumi. Kata-katanya membumi dan cara nalar berfikirnya seperti keluar dari hasanah zaman yang ia lewati. Ahimsa, setyagraha, dan swadesi, adalah slogan-slogan yang kuat dan penuh strategi anti kekerasan. Dia tidak beda dengan Kyai dahlan, keduanya berusaha belajar untuk rakyat dan menghindari pertumpahan darah yang sia-sia. Gandi memahami kemiskinan, perbudakan, dan kepahitan yang dialami oleh rakyat India masa penjajahan mesti harus dijalani , ia sendiri menjalani hal yang sama seperti orang kebanyakan tapi juga membangkitkan semangat ‘civil disobedience’ dalam jiwanya. Konon Gandhi sangat dipengaruhi oleh tulisan Handry David Thoreau (1856)  tentang ‘Civil Disobedience’(George Hendrik dalam Walden and Civil Disobedience, 1966). Al kisah, di sebuah konferensi International seorang reporter, Webb Miller, menemui Gandhi dan bertanya,: “Did you ever read American namee Hendry D Thoreau?” dan apa jawabannya Gandhi? Dia bilang,” Why, of course I read Thoreau. I read Walden first in Johannesberg in South Africa in 1906 and his ideas influenced me greatly…I took my movement from Thoreau’s essay, ‘On the Duty of Disobediance,’..”

So, pilihan Kyai Dahlan dan Gandhi adalah pilihan sadar dan ‘rasional’ jika kita kaji sekarang tapi di zamannya bisa jadi dianggap nyeleneh. Selain mereka menyaksikan ada konfrontasi mematikan dia tidak terpanding dan menekuni hal-hal kecil dan dengan membangun budaya unggul di sana lah terbuka gerbang untuk menuju kemerdekaan. Kemerdekaan tidak hanya berupa jasad merdeka, tapi alam fikiran, kebudayaan, dan harga diri juga tetap menjadi nilai-nilai yang mutlak harus dimiliki sebagai nilai-nilai Asia yang unggul dan disegani bangsa lain. Kiprah Gandhi dan Dahlan mengigatkan saya selain buku tentang civil Obidience atau pembangkangan sipil tersebut diatas juga buku James Scoot tentang model perlawanan orang-orang lemah di desa di Malaysia dalam bukunya the weapon of the weak. Petani-petani melawan dengan caranya sendiri dan dengan logikanya sendiri sebagaimana yang dilakukan Gandhi dan Dahlan. Mereka memang orang-orang yang meyakini kemenangan kecil dan berani mengambil resiko. Moga ada manfaat.

Reading room EWC, Oct 11 2010
Menjelang kuliah 3.30 pm


Sabtu, 24 Desember 2011

Ada Apa di Mesuji?

Oleh : Dr. Zaim Uchrowi


Berita itu begitu menyentak. Dalam suatu waktu sekitar 30 orang penduduk dibantai. Lokasinya di Mesuji, Lampung. Yang bertanggung jawab adalah perkebunan kelapa sawit. Perusahaan yang punya sengketa lahan dengan penduduk. Mereka membayar ‘pam swakarsa’ buat memerangi masyarakat.

Keriuhan pemberitaan pun berkembang. Banyak orang sempat percaya. Di Kalimantan, perusahaan semacam telah membantai orang utan demi sawit. Demi sawit pula, sangat mungkin mereka melangkah lebih jauh. Yakni, mengorbankan warga yang menentang usahanya. Apalagi ada tayangan video yang ditunjukkan. Plus kedatangan sejumlah masyarakat adat buat mengadu ke DPR.

Syukurlah belakangan makin terang bahwa berita itu tidak benar. Korban jiwa akibat benturan kepentingan memang terjadi. Namun, cerita dramatis pembantaian penduduk tidak terbukti. Sama halnya dengan cerita kosong perkosaan para perempuan keturunan Tionghoa dalam rusuh 1998. Cerita rekaan yang dianggap benar oleh dunia dan sungguh menghancurkan martabat bangsa ini.

Di seputar Mesuji, memang tercatat setidaknya enam orang tewas akibat konflik soal sawit. Ini di Mesuji yang masuk Kabupaten Ogan Komering, Sumatra Selatan. Dua orang tewas ditembak tenaga pengamanan kebun. Warga marah. Mereka menyerbu perkebunan, membunuh dan memenggal pekerja yang ditemuinya.

“Utang nyawa dibayar dengan nyawa.” Itu prinsip kuno yang semestinya telah terkubur namun masih hidup di masyarakat setempat. Dengan tambahan nyawa melayang, Mesuji Sumatra Selatan kembali tenang. Namun, Mesuji tetangganya di Lampung yang justru memanas. Sejauh ini tak terdengar kabar adanya korban nyata di tanah bergolak ini. Dan, memang jangan pernah ada korban siasia untuk hal ini. Sudah bukan saatnya lagi Indonesia punya tragedi begini.

Laporan tentang tragedi Mesuji boleh jadi berlebihan. Namun, laporan itu telah mengikonkan Mesuji sebagai pengingat ketertindasan. Yakni, ketertindasan sebagian warga pulau yang menyimpan sejarah kemakmuran luar biasa di masa lampau. Sejarah kemakmuran yang telah diwujudkan Kerajaan Samudera Pasai. Juga sejarah kemakmuran yang dibangun Sriwijaya —yang dulu menjadi kerajaan dagang terbesar di kawasan Asia Tenggara dan Timur.

Semua mengenal nama ‘Swarnadwipa’ atau Pulau Emas. Nama lama untuk menyebut Sumatra. Kemakmuran yang disimbolkan emas semestinya menjadi wajah seluruh masyarakat di sana. Ternyata tidak. Dua pertiga abad Indonesia merdeka belum juga membebaskan seluruh warganya dari keterpurukan. Begitu banyak orang masih bergelut pada kehidupan tradisional yang sederhana. Sangat tidak memadai untuk menghadapi era global.

Sebagian warga kita masih menjadi pengumpul hasil dan pengolah lahan hutan sekadarnya. Kehidupan yang telah diwarisi dari generasi sebelumnya selama berabadabad. Tiba-tiba mereka harus berhadapan dengan dunia modern. Dunia yang benar-benar dikendalikan oleh kekuatan kapital. Dalam kasus di Mesuji, juga di banyak tempat lain, kekuatan kapital itu adalah kebun-kebun sawit yang sekarang memang makin meluas.

Dua pihak, masyarakat setempat dan perusahaan perkebunan, pasti berhadapan berebut lahan. Masyarakat hampir pasti kalah di jalur formal. Lalu, menempuh jalan sendiri yang paling mereka pahami. Perusaha an kemudian merekrut ‘tenaga pengaman’ juga dari masyarakat. Tentu didukung (oknum) polisi atau tentara yang mereka bayar pula. Sebuah bentuk benturan yang tidak akan ada pada bangsa-bangsa maju.

Bila kita sebagai bangsa melangkah secara benar, tak akan ada benturan macam ini. Tak akan ada petani yang marah sebagaimana di Mesuji dan tempat lainnya. Mereka tidak terjepit oleh kekuatan-kekuatan raksasa yang merebut lahan di sekitarnya. Bahkan, kekuatan-kekuatan asing yang makin agresif membuka kebun-kebun sawit di negeri ini.

Semestinya para petani itulah pemilik kebun-kebun sawit. Seperti di Australia, Amerika Utara, bahkan Eropa yang sempit pun, petani adalah pemilik lahan ribuan hektar. Kalaupun tak memiliki tanah luas dan tetap menjadi petani kecil, mereka pasti terikat dalam koperasi tani yang kuat. Itu yang ada di Jepang, Korea Selatan, hingga Taiwan. Hanya dua model petani itu yang dapat bertahan di era global. Bukan petani gurem seperti di hampir seluruh pelosok negeri ini, termasuk di Mesuji.

Benturan seperti di Mesuji sudah tak boleh terjadi. Pengaturan lahan harus jelas, tegas, dan adil bagi semua kepentingan. Negara sudah harus mampu mentransformasi petani gurem menjadi terkoordinasi dalam koperasi tani yang kuat. Infrastruktur pendukung kemajuan masyarakat pun harus segera terbangun memadai. Seperti jalur rel gan da kereta api Lintas Sumatra, yang bermula dari Lampung.

Sudah tidak pantas negeri semakmur ini gagal mengangkat warganya. Bahkan, sekadar ke tingkat minimal buat menghadapi tuntutan era global. Mesuji mengingatkan kita tentang itu. Mengingatkan kita agar bahumembahu era baru. Era yang tak ada lagi berita menyentak dan menyedihkan seperti yang biasa kita dengar.


Sumber : http://koran.republika.co.id, 23 Desember 2011 , gambar : antaranews.com

Resensi Tonggak Sang Pencerah

Oleh : David Effendi



Berulang kali dikatakan Darwisy atau Dahlan dalam seluruh bagian novel ini, bahwa Dahlan menolak dengan keras dan tegas, Islam bukanlah agama ritual belaka, terbelakang, dan menghalangi Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan terbebas dari penindasan, ketidakberdayaan, kebodohan dan kesehatan yang terpuruk (hlm. 48, 246, 250). Ini merupakan novel yang membangkitkan semangat berorganisasi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Karena ada kekuatan yang mengancam, meminjam kata-kata Dahlan yang sedikit penulis ubah, ”Bahwa bisa jadi Muhammadiyah lenyap dari Indonesia, tapi Islam tidak akan lenyap dari muka bumi.” Atau, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenar-benarnya”, yang diadopsi oleh Buya dari pendapat, ”Sebuah Islam yang tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah manusia, bukanlah Islam yang sebenarnya.”

Lega dan bahagia rasanya, membaca satu kekayaan dan khazanah baru mengenai KHA. Dahlan yang telah merintis dan mendirikan Muhammadiyah yang sampai kini sudah berusia satu abad atau seratus tahun. Selain puluhan atau ratusan buku yang tertulis mengenai sosok manusia santun dan bijak dari Kauman ini, genre baru dalam bentuk novel pun hadir mengapresisasi, betapa sosok Darwisy itu mampu menginspirasi anak bangsa untuk berbuat lebih banyak untuk bangsanya, untuk kemanusiaan sebagaimana yang diperankan oleh Dahlan dan pengikutnya pada zaman itu. Zaman yang terus bergerak pincang, meminjam istilah Passandre dalam novel ini, Dahlan bisa bergerak dan terus bergerak untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah semangat kemanusiaan dan bukan aliran tradisi yang tersingkir, terbelakang dan tidak modern. Bayangkan, dalam keadaan yang serba terbatas, berhadapan dengan tradisi, kolinialisme, tradisi kraton yang kokoh seperti pohon beringin itu, Dahlan tidak gentar terus melakukan istima’, ijtihad bahwa harus ada jalan keluar, untuk membawa bangsanya keluar dari keterpurukan dalam beraqidah, sosial, ekonomi, dan politik.
Penulisan novel ini diilhami oleh film dokumenter “KH Ahmad Dahlan Sang Pencerah” yang dikeluarkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UMY tahun 2006 dan dipersembahkan untuk Sang Pencerah, Pahlawan Kusuma Bangsa, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan Muktamar Seabad Muhamamdiyah 2010. Sebuah kalimat yang sangat tulus, bagaimana penulis yang merupakan alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini mempunyai kepekaan hati untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi Dahlan, bagi Muhammadiyah, dan bagi anak bangsa yang seiring dan sejalan dengan pemikiran dan aksi sosial Dahlan. Kita mesti berterima kasih pada penulis yang memberikan bacaan yang menyentuh, penuh referensi, fakta, nuansa revolusi, menggebu-gebu, mendobrak, dan kadang-kadang hanyut dalam romatisme keluarga sakinah yang damai tentram yang pernah dilakoni KHA Dahlan. Panduan Hidup Islami Muhammadiyah mungkin perlu disempurnakan dengan membaca novel ini terutama Penggalan 6-10, yang berisi dialog-dialog singkat dan kaya makna antara Dahlan dengan Walidah, yang cukup menyentuh dan membuat kita meneteskan air mata (baca juga hlm. 247-249).

Passandre menarasikan kisah yang mengandung nilai keutuhan hidup dengan sangat apik. Sosok Dahlan atau Darwisy sebagai sosok yang selalu risau terhadap tradisi yang lebih dimuliakan dari pada ajaran Agama Islam. Sosok yang mendobrak dan anti penjajahan, dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis, yang saling menguatkan dengan landasan Islam yang akan membawa kebahagiaan. Dahlan sama sekali bukan digambarkan –dan memang bukan– sebagai tokoh yang egois, hanya mementingkan orang lain atau perjuangannya, tidak mau tahu dengan urusan keluarga. Pendek kata, Dahlan ingin mengatakan bahwa kehidupan berkeluarga tidak akan pernah menghalangi dakwah, menghalangi peroebahan yang dicita-citakannya, bahkan menawarkan ragam second opinion, atau alternative, manakala kebutuhan dalam perjuangan itu menghentikan langkah kakinya (hlm. 249). Sekali lagi, ayat-ayat cinta dan semesta itu hadir menyelimuti kehidupan rumah tangga Dahlan-Walidah.

“Dari penampilannya saja, sekolah itu memang tampak mengingkari  zamannya, dan seolah hendak membangun zaman baru: zamannya sendiri. Zaman dimana manusia terbebaskan dari belenggu tradisi yang membodohkan.” (hlm. 258). Ya, Dahlan memang memberontak tradisi, memimpikan perubahan. Dan untuk membangun zamannya, dan zaman yang akan datang, Dahlan mengorbankan banyak hal, terutama waktu bercengkerama dengan keluarga, lalu ditinggal ke Makkah untuk naik haji dan belajar agama. Dahlan ingin Islam modern sehingga arah kiblat pun perlu direvisi sebagai konsekuensi dari berkembangnya ilmu pengetahuan, karena Dahlan mengenal dunia, mengenal ilmu geografi. Disamping itu, beliau memahami dan menyaksikan bahwa Islam yang revolusioner sedang bergeliat di tanah Arab, Mesir yang dipromotori oleh Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan sebagainya. Dahlan memanfaatkannya sebagai pendorong semangat dalam jiwanya untuk aksi nyata: Peroebahan! Tidak hanya itu, Dahlan juga belajar membangun sekolah yang meski dianggap kafir lantaran meja kelas dan pelajaran musik dan biola (hlm. 262). Beliau juga memikirkan perlunya organisasi setelah berinteraksi dengan Budi Oetomo, Taman Siswa, dan hasil dialog dengan seorang pelajar yang tidak rela sekiranya sekolah Dahlan ambruk dan roboh jika kelak Dahlan meninggal dunia. Maka, ikhtiar itu termanifestasikan dalam langkah nyata mendirikan organisasi modernis yang diberikan nama Muhammadiyah pada 18 November 1912.

Salah satu keunggulan novel ini adalah sosok penulisnya yang memang aktivis Muhammadiyah, semenjak SMA menghabiskan waktunya di Sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta dan aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah sampai di tingkat Pimpinan Pusat. Aroma kepekaan sebagai “orang dalam” sangat kental dan sering melihat ‘dinamika Dahlan’ sebagai sesuatu yang harus kembali ditumbuhkan kepada generasi kekinian, anak muda Muhammadiyah yang bisa jadi terlalu dimanjakan dengan fasilitas sehingga tidak peka dan tidak berani mengambil posisi yang beresiko. Inilah yang hendak penulis novel ini bangun, bahwa katakan kebenaran walau rasanya pahit, sebagaimana kisah Dahlan dalam khutbahnya di Semarang saat perjalanan haji menuju Tanah Suci Makkah (hlm. 117). Bangsa ini akan beranjak menjadi baik jika kata-kata Dahlan itu terus dipraktikkan dalam segala situasi. Bangsa ini tentu tidak akan mendapat predikat bangsa dengan indeks korupsi tertinggi di jagat raya.

Novel ini sangat layak untuk dijadikan bacaan wajib dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah baik di tingkat sekolah dasar atau sekolah tinggi dan universitas. Buku yang kaya akan literasi dan referensi ini diharapkan akan menggugah semangat untuk ber-uswatun hasanah kepada para pemimpin terdahulu, untuk kembali melejitkan ghirah bermuhamamdiyah, berislam, dan berbuat untuk kemanusiaan. Maka, “saya berharap Muhammadiyah benar-benar bertujuan untuk pencerahan kehidupan umat. Bukan untuk kepentingan pribadi. Maka itu, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” (hlm. 279).
Beberapa hal menarik lainnya adalah pesan-pesan yang penuh inspirasi dan makna dari Dahlan kepada muridnya atau santrinya selama berinteraksi pada saat-saat penuh tantangan. Kata-kata berbobot itu layak dijadikan pelajaran untuk anak didik Muhammadiyah (hlm. 220, 221, 231, 260, 264). Dan salah satu usulan yang sederhana mungkin diantara bab atau penggalan itu dilengkapi foto dokumentasi, atau karikatur yang bisa mengundang perhatian pembaca, terutama pembaca muda yang masih ogah-ogahan membaca novel apalagi yang namanya text book.

Terakhir, sebagaimana Nabi Muhammad, dalam dakwahnya Dahlan juga mengalami masa-masa sulit seperti perlawanan dari kelompok Islam-tradisi, langgar atau musholla yang dirobohkan, dituduh kyai kafir, juga peristiwa memilukan saat meninggalnya ibunda tercinta dan ayahnya, namun hasrat perubahan terus dipelihara dalam pikiran dan tindakannya. Lalu, perubahan itu terus bergerak kencang dan bertenaga menerobos zaman, sejarahnya yang terus tumbuh dewasa dan terkadang macet di tengah jalan. Tapi, karya Dahlan terus dipercayai sebagai kebaikan, kesalehan sosial yang dilandasi keislaman yang membebaskan, yang dilandasi akal sucinya untuk menebar rahmat bagi semesta raya. Prestasi baik Darwisy dan Dahlan keduanya itu tak akan musnah dimakan bubuk zaman, tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Mewakili penulis novel itu yang ingin mengatakan: Selamat Milad Muhammadiyah ke-100 tahun, semoga tetap energik, bertenaga dalam bergerak memasuki pusaran gelombang kedua di abad kedua ini. Selamat membaca dan salam dari pengikut Tonggak Sang Pencerah.


Hasil Analisis Seputar Presiden Pilihan Pelajar

Oleh : LaPSI PP IPM

Pemilih Pemilu pemula dari kalangan pelajar tentu memiliki pengaruh terhadap hasil pemilihan umum 2009 di Indonesia. Oleh karena itu, LaPSI (Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani) mencoba melakukan survey terhadap pelajar pemilih pemula antara usia 17 sampai 19 tahun pada tanggal 6-8 April lalu. Survey yang dilakukan di SMA/sederajat di Kota dan empat Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta ini menggunakan metode sampeling dengan menyebarkan kuesioner secara random.

Dari 500 responden yang masuk ke LaPSI, pelajar banyak yang meleset dari jawaban yang benar tentang bulan dilaksanaknnya Pilpres. Hanya 19% dari responden yang benar-benar mengetahui bulan pelaksanaan Pilpres dan Wapres, sedangkan 81% menjawab salah dan 53% diantaranya tidak mengisi jawaban atau mengisi dengan jawaban tidak tahu. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan politik pada pelajar atau kurangnya antusias dari pelajar mengikuti perkembangan dan jadwal pemilihan presiden dan wakil presiden.

Pelajar masih mengharapkan Calon presiden di Negara ini adalah mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan 80% pelejar menyatakan penting latar belakang pendidikan bagi presiden  Indonesia kelak. Hal ini dibuktikan dengan 39,6% pelajar memilih S2 atau S3 sebagai latar belakang pendidikan Capres. 26,4% memilih S1. Dengan demikian perhatian pelajar terhadap pendidikan cukup menggembirakan karena lebih dari 75% mengharapkan pemimpin bangsa ini tidak hanya sampai pada tingkat sembilan tahun wajib belajar saja seperti yang diprogramkan pemerintah atau mereka yang hanya memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat seperti keturunan darah biru saja.

Pelajar juga mengharapkan Presiden dan wakilnya yang jujur, amanah dan cerdas (41%), memperjuangkan pendidikan murah dan berkualitas (25%), berwibawa dan tegas sebanyak 22% dan lainnya 9%. Dalam hal ini jelas bahwa pelajar masih memiliki harapan kepada para pemimpin bangsa agar memiliki kriteria yang benar-benar bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, tidak mementingkan dirinya sendiri dengan menggadaikan aset Negara atau mengambil hak rakat. Masalah pendidikan yang masih melanda dunia pendidikan Tanah Air juga perlu diperhatikan lebih lanjut terutama dengan mengoptimalkan anggaran Pendidikan 20% sehingga taraf pendidikan lebih berkualitas juga dapat dirasakan oleh seluruh elemen putra bangsa.
Yang patut menjadi tugas utama bagi presiden dan wakilnya kelak setelah terpilih yaitu 42 % responden menyatakan bahwa yang paling memprihatinkan adalah semua yang berkaitan dengan pendidikan yang terdapat di Tanah Air. Hal ini ditandai dengan 16% masih mahalnya biaya pendidikan di berbagai sekolah, 10% dijumpai tawuran pelajar di berberapa daerah yang meresahkan, 9 % terbatasnya fasilitas sekolah dan 8 % masih terdapat sistem kekerasan terhadap pelajar. Selain itu juga dari 29% responden menyatakan bahwa kemiskinan dan pengangguran merupakan hal yang tidakkalah untuk diperhatikan dan 25% menyatakan bencana alam juga hal yang perlu diantisipasi atau terdapat fasilitas yang cekatan dalam penanggulangannya.
Ternyata pelajar belum memberikan pilihannya dalam menentukan siapa nama presiden pilihan pelajar tersebut. Namun hanya memberikan jawaban berupa kriteria yang diharapkan oleh pelajar atau masih merahasiakan pilihannya. Ini ditandai dengan 49,2% dari jumlah responden tidak mencantumkan nama presiden idamannya.

Akan tetapi dari separoh responden yang menyatakan pilihannya, ternyata Presiden periode 2004-2009 masih diminati untuk memimpin Tanah Air ini dibandingkan dengan tokoh – tokoh Nasional yang lainnya. Hal ini ditandai dengan tingkat keminatan pelajar terhadap SBY sebanyak 27.2%, disusul dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebanyak 6,8% dan diikuti oleh Amien Rais dan Prabowo Subianto yang memiliki jumlah prosentase yang sama yaitu masing-masing 5,6%.

Sabtu, 17 Desember 2011

Busyro dan 'Orang Baik'

Oleh : Dr. Zaim Uchrowi


Jauh dari menggebu, mengesankan pendiam, dan tak bersosok yang dianggap gagah. Itulah Busyro Muqodas. Nama yang baru dikenal luas oleh publik setahun terakhir.  Tepatnya setelah ia memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Para pemerhati hukum tentu sudah mengenalnya lebih lama.

"Seorang baik-baik," begitu kesan sekilas sosok ini. Seorang yang bersih dan tak mengambil keuntungan  buat diri sendiri. Juga bukan pula sosok garang dan siap 'melumat' koruptor sehancur-hancurnya sebagaimana dikesankan ada pada diri Abdullah Hehamahua. Ini nama salah seorang kandidat pimpinan KPK yang paling tidak diinginkan DPR.

Karena karakter 'baik-baik'-nya itu Busyro diterima semua pihak buat menjadi  ketua KPK pengganti  sebelumnya yang bermasalah. Orang-orang tak mengharapkan Busyro membuat gebrakan. Tidak juga menuntutnya mampu membongkar kasus-kasus besar.  Cukuplah Busyro dapat melanjutkan pekerjaan KPK yang sudah berjalan. Lalu, memperbaikinya tahap demi tahap.  Semua akan bahagia bila itu terjadi.

Yang terjadi ternyata tak seperti itu. Setahun memimpin KPK, Busyro menangguk hasil besar pula.  Sosok kuat di partai terkuat dan sedang berkuasa berhasil dijeratnya.  Siapa lagi kalau bukan Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat. Lingkaran kekuatan yang melindungi sosok itu berhasil diurainya satu persatu. Nunun Nurbaety, buron KPK selama dua tahun, dapat pula dibawanya pulang dari Thailand.

Apakah semua itu merupakan hasil dari kehebatan Ketua KPK yang 'baik-baik' ini? Tampaknya bukan.  Busyro punya banyak kelebihan. Namun, dia sendiri pasti enggan untuk disebut hebat.  Yang benar adalah bahwa ia 'orang baik'. Bukan 'orang baik-baik'.  Seperti disebut dalam petuah pada anak-anak, "orang baik disayang Tuhan". Itu yang terjadi padanya.

Jalan Busyro dalam memimpin KPK dipermudah oleh Allah. Berbagai penghalang  yang menghambatnya tersingkirkan oleh kelurusan hatinya.  Pihak-pihak yang menginginkannya tidak dapat efektif bekerja menjadi tidak berdaya sendiri.  Hasilnya, koruptor makin sulit untuk berkelit. Keadaan yang tentu tak disukai oleh yang gemar korupsi.  Jangankan mereka, DPR pun kurang suka padanya. Maka, Abraham Samad dipilih jadi ketua KPK yang baru.

Tak cukup disebut baik bila hanya untuk diri sendiri. Baik adalah bila juga dapat diwariskan ke generasi seterusnya. Untuk konteks KPK adalah bila Busyro mampu mewariskan kebaikan kepemimpinannya di KPK kepada Samad.  Termasuk kesederhanaan dan kerendahhatiannya.  Itulah kekuatan hati yang akan membimbing seseorang untuk selalu berada di jalan benar.

Kekuatan hati  itu yang diperlukan bangsa ini.  Bangsa ini perlu pemimpin yang mampu menjaga hatinya untuk tetap bening hingga berkah tercurah dari langit pada diri, keluarga, serta lingkungannya.  Busyro sudah menunjukkan itu di lingkungan KPK.  Semestinya itu juga dapat terjadi di lembaga manapun, termasuk di institusi besar bernama Republik Indonesia ini.  Untuk memiliki kekuatan hati, caranya sederhana: Mari menjadi orang baik!

KPK beruntung punya 'orang baik' seperti Busyro. Juga tiga 'orang baik' lainnya. Yang lebih beruntung adalah Abraham Samad.  Tak banyak 'orang hebat' sepertinya yang mendapat kesempatan memimpin tim 'orang baik'.  Yang diperlukan Ketua KPK pengganti Busyro sekarang  ini hanya belajar menjadi 'orang baik' seperti empat senior yang dipimpinnya.

Bila itu terwujud KPK akan benar-benar menjadi institusi penuh berkah buat Indonesia. Sebab, sekali lagi, "orang baik (bukan 'baik-baik') disayang Tuhan".


Sumber : Resonansi Repuplika, 16 Desember 2011

Jumat, 09 Desember 2011

Makna Mudik Bagi Pejabat Publik


Oleh : David Effendi

Mudik sudah menjadi ritual budaya setiap tahun tidak hanya dirayakan oleh ummat Islam semata namun sudah menjadi bagian integral dari denyut nadi anak bangsa dari sabang sampai merauke, dari pulau berpenghuni paling padat sampai pelosok pedalaman yang sepi. Mudik, mengalami perluasan makna menjadi kebudayaan bangsa di mana setiap individu merasakan arti mudik secara kolektif dengan dimensi pemaknaan masing-masing. Ada mudik dengan muka berseri-seri, ada juga yang mengalami kesulitan luar biasa semenjak di perbekalan, finansial, sampai berdesak-desakan di jalan. Kadang justru mengalami kenaasan yang menyedihkan. Kita bisa lihat data tahun lalu yang menurut perhitungan dari beberapa sumber bahwa pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1.351 kasus kecelakan selama mudik lebaran, 302 orang meninggal, luka berat 405 orang dan luka ringan sebanyak 826 orang (KPAI, 2011).

Mudik sendiri memang harus disematkan makna di dalamnya bahwa ‘kembali ke fitra’ setelah sebulan digembleng dengan keras dalam ritual bulan ramadan dengan segala kesibukan dan refleksi di dalamnya. Kembali ke fitra artinya mengembalikan hati dan fikiran ke dalam ‘kesucian’ layaknya awal manusia diciptakan. Mudik, selain diartikan membersihkan diri juga menyambung silaturahmi dengan keluarga dan sesama yang mempunyai derajat istimewa dalam ajaran Islam dan agama lainnya sekalipun mempunyai makna sosial yang serupa. Mudik, bisa juga diartikan kembali mempertautkan makna yang ilahiyah dan makna duniawiyah dalam dimensi hablum minallah dan hablum minna nass. Namun ada bebarapa pemaknaan yang berbeda dari fenomena mudik di era serba liberal ini.

Bagi komunitas di kampung-kampung banyak orang tidak merasakan ‘mudik’, karena mudik sejatinya adalah fenomena kelas menengah, para pekerja di kota, dan para pejabat yang ‘reses’ panjang karena bulan mudik ini. Banyak berita menginformasikan, bagaimana para pejabat publik menghabiskan jata pekerjaan/amanah untuk liburan ala mudik ini. Para politisi juga tidak kalah heboh, berbagai model kegiatan dilakukan dalam rangkah menyapa konstituen untuk persiapan pemilu atau pilkada. Inilah faktam bahwa berlebaran tidak melulu aktifitas agama, atau budaya namun juga menjadi ajang ‘pembolosan massal’ atau juga kampanye para pejabat atau calon pejabat publik. Makna mudik, kemudian dapat disimpangsiurkan kedalam berbagai kepentingan.

Jika kita mau refleksi sedikit, loyalitas anak bangsa ini ditentukan oleh minggu lebaran dimana semua orang pesta pora untuk menyenangkan diri masing-masing namun kita bisa melihat bagaimana sosok penjaga pintu air, penjaga palang kereta, polisi, seniman jalanan, tentara di perbatasan, dan para pekerja negara yang tidak bisa libur di hari H lebaran. Merekalah sejatinya para pejuang bangsa yang menyadikan bangsa dan roda ekonomi tetap jalan. Para petani di kampung-kampung juga berhenti hanya ketika sholat dan sehari saja ketika lebaran bahkan ada yang langsung kembali mengurus tanah pertanian. Karena mereka hanya berfikir lebaran bukanlah sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan sementara pekerjaan untuk menghidupi api kompor di rumah juga kian mendesak. Berbeda dengan pejabat publik, yang bisa mempopulerkan diri di minggu ‘mudik’ dengan berbagai fasilitas negara mulai mobil dinas, THR, dan sebagainya yang ini tidak dirsakan oleh orang-orang yang tinggal desa.

Lalu bagaimana harus memaknai mudik? bagi pejabat publik yang memang dipilih baik langsung atau tidak langsung oleh rakyat maka prioritas mereka seharusnya adalah untuk kepentingan umum seperti upaya mengurus jalan dan infrastruktur agar tidak terjadi kecelakaan, kekerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Janganlah pejabat berkerah putih selalu mempersalahkan operator lapangan ketika terjadi kecelakaan padahal para pejabat publik kelas atasan itu hanya santai-santai di hari lebaran sementara bawahan harus rela tidak bertemu keluarga. Ini adalah satu fenomena bentuk-bentuk pengkambinghitaman terhadap ‘bawahan’. Kesadaran naif, bahwa bawahan selalu salah dan tidak tahu apa-apa sementara atasan adalah tahu segala-galanya dan kebal atas kesalahan harus dibuang jauh. Pejabat publik, mutlak dan aboslut harus bertanggung jawab kepada publik dan karena kita negara yang mengimani tuhan maka gerak dan langkahnya harus pula dapat dipertanggungjawabkan secara seksama dihadapan sang Pencipta.

Tahun ini mudik harus lebih bermakna dan jauh dari malapetaka. Jika para pejabat publik memang amanah tentu segala daya upaya untuk membantu sesama menggapai hakikat mudik haruslah menjadi prioritas utama dari nafsu pribadi untuk merayakan mudik sementara begitu banyak kewajiban disandarkan dipundak para pejabat publik. Mudik juga harus diartikan untuk menjadikan pemerintahan lebih transparan, lebih bijak dan bajik sehingga semua pejabat berkomitmen untuk tidak lagi mengembat fasilitas negara, kekayaan dan aset negara. Mudik harus diartikan sebagai semangat bersama untuk memerangi segala kejahatan termasuk kejahatan koruptor negara. Semoga idul fitri lebih bermakna bagi para pejabat publik dan demi sebesar-besarnya kesejahteraan dan pelayanan publik.

August 24, 2011