Senin, 09 April 2012

Dari "Revolusi Semut" Sampai Revolusi Gajah

Oleh : David Effendi
Mantan Ketua Bidang PIP PP IPM


Revolusi bisa saja terjadi dari alam pikir seorang individu lalu menular ke pada pikiran dan otak lainnya yang memang secara nalar compatible dengan gagasan dan rumor itu. Saya mencoba membangun argumentasi empirik yang seringkali memantik terjadi perubahan secara radikal. Perubahan radikal diawali dari dalam pikiran dan keyakinan. Beberapa contoh kasus bagaimana revolusi besar terjadi memang seringkali mengundang perdebatan tetapi mengambil cara pandang alternatif bisa menjadi hal yang perlu sebagai upaya mencari kebenaran-kebenaran lain di dalam kebenaran-kebanaran yang diyakini orang kebanyakan (ilmuwan) terkait apa, bagaimana, dan dalam keadaan apa sebuah perubahan paradigmatik dan fisik dapat terjadi.

Belajar dari Semut
Semut bisa menciptakan sesuatu yang lebih besar dari dirinya bahkan lebih besar dari kemampuannya. Semut mempunyai tradisi rumor dimana semut itu seringkali berarngkulan dengan teman ketika bertemu sampailah pada terbentuknya jaringan yang menghubungkan antara satu individu dengan indvidu lainnya, satu individu dengan group,  group dengan group lainnya, tidak hanya di atas permukaan tanah tetapi juga underground. Dari sinilah revolusi dimulai.

Kasus Europe Spring dan Middle East Spring itu adalah salah satu ilustrasi penting bagaimana kita menjelaskan pemantik dari sebuah revolusi besar yang secara radikal mengubah struktur dan infrastruktur peradaban sebuah negara. Dari diktator menjadi demokratis, adalah klaim terjadi pemberadaban dan perubahan dramatis suatu fase masyarakat. Huntington membacanya melalui class of civilization dan lahirnya apa yang disebut gelombang demokratisasi yang percaya pada teori rumor dan gossip. Rumor dan gossip tentang indahnya demokarsi dan persamaan hak diwacanakan dari meja makan ke meja makan, warung-warung, kampus, seminar, dan sebagainya lalu menjadi 'agama' baru untuk mengganti tatanan lama. 

Tidak bermaksud mengatakan bahwa revolusi semut itu berdampak kecil sementara revolusi gajah mempunyai dampak besar. Indikasi sebuah dampak adalah bukan hanya dari akibat sebuah proses revolusi tetapi juga dilihat dari bagaimana kehidupan politik dan ekonomi pasca runtuhnya rejim lama. Jika hanya mengubah diktator lama menjadi diktator baru, lalu dampak positif apa yang hendak kita utarakan dari sebuah revolusi berbiaya tinggi? Revolusi semut yang sifatnya tidak langsung, kadang abstract, dan tidak nampak itu bisa jadi lebih baik untuk masyarakat karena biaya yang dieluarkan tidak besar---menjalani kepahitan untuk sebuah proses perubahan alamiah yang berjangka panjang (futuristik).

"Hipotesis" dan "Asumsi"
Saya tidak bisa mengklaim kebenaran bahwa revolusi besar selalu diawali dengan revolusi kecil. Namun asumsi-asumsi ini menguatkan kita pada satu kesimpulan 'logis' dan ilmiah. Kita akan mulai dari beberapa kasus yang paling terbaru. Pada revolusi politik yang terjadi di Tunisia (2011) diawali dari aksi seorang penjual buah yang membakar diri akibat suaranya tidak terdengar oleh pihak pemerintah yang memperlakukan buruk (polisi). Dia tidak mengorganisir dirinya kepada kelompok advokasi. Aksi ini kemudian disambut oleh aksi solidaritas baik di media online atau massa, solidaritas muncul di mana-mana. Aksi serupa juga bisa dikatakan terjadi di Mesir dengan skala pengorganisasian yang lebih matang karena memang belajar dari pengalaman Tunisia. Tetapi eksistensi diktator dan keinginan rakyat melepas keburukan rejim sama-sama ada sehingga bergerak pun cepat dan masif. Reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dipicu oleh kasus-kasus kecil kejahatan pemerintah dengan membiarkan korban diskriminasi, pemerkosaan, dan penculikan mahasiswa/aktifis. Lalu menjalar ditambah dengan situasi krisis ekonomi luar biasa. Elit pemerintahan mulai mundur dan inilah revolusi sedang dalam prosesnya.

Contoh kedua, pada saat revolusi kemerdekaan. Pembangkangan sipil terjadi juga akibat buruknya kehidupan dan pelakukan Belanda. Mereka membangkang juga akibat solidaritas terhadap korban yang mereka lihat. Pembangkangan tidak langsung ini sangat massif terjadi dimana-diamana. Ketika mereka mempunyai kepercayaan yang baik akan sosok 'satria piningit', tokoh agama yang berdedikasi maka mereka tidak segan untuk bergerak walau nyawa jadi taruhan. Inilah yang terjadi dalam Peran Jawa (1925-35) yang dipimpin Pangeran Diponegero. Begitu juga pemberontakan Banten yang diwarnai ideologi islam dan anti pembaratan/sekularisasi.

Satu kesimpulan spekulatif yang layak diperdebatkan. Bahwa bibit revolusi dan perlawanan itu ada di masyaakat yang awalnya tanpa organisir, tidak ada niat untuk mengubah keadaan dan situasi akibat perasaan yang "powerless." Namun ada beberapa situasi yang mengakibatkan rasa bergerak langsung dan melaukan perlawanan terbuka. Situasi pertama adalah ketika dia harus menyampaikan solidaritas kepada korban yangs ecara ikatan emostional dekat atau dari kelas sosial yang sama, dia akan proetst tanpa menghitung kekuatan lawan. Mereka berani turun ke jalan walau hanya 4 orang. Situasi kedua, adalah perlakukan penindas yang diambang batas toleransi. Ketiga adalah situasi yang diakibatkan oleh munculnya sosok pemimpin yang dipercaya oleh rakyat dan dinilai rakyat sebagai orang yang dapat dipercaya. Faktor kepemimpinan traditional masih berlaku di masyarakat pedesaan. Kepercayaan mereka kepada pemimpin adalah bagian dari strategi untuk saling tergantung dalam situasi yang lebih solid dalam kehidupan sosial dan politik.

Jadi ketiga situasi itu sama-sama mempunyai potensi mentransformasikan kekuatan semut yang undergoround menjadi kekuatan gajah yang dapat menghancurkan tembok kekuasaan secara terbuka dan langsung. Di sinilah kita mebaca bagaimana everyday politics dan resistensi rakyat dapat berubah menjadi sebuah gerakan sosial dan politik yang terbuka dan mematikan. Dengan demikian revolusi akan dimulai dengan segala kelebihan dan dampak buruknya---termasuk bagi masyraakat kebanyakan yang seringkali tidak mendapatkan 'kepentingan'nya untuk sebuah perubahan besar.