Jumat, 09 Desember 2011

Makna Mudik Bagi Pejabat Publik


Oleh : David Effendi

Mudik sudah menjadi ritual budaya setiap tahun tidak hanya dirayakan oleh ummat Islam semata namun sudah menjadi bagian integral dari denyut nadi anak bangsa dari sabang sampai merauke, dari pulau berpenghuni paling padat sampai pelosok pedalaman yang sepi. Mudik, mengalami perluasan makna menjadi kebudayaan bangsa di mana setiap individu merasakan arti mudik secara kolektif dengan dimensi pemaknaan masing-masing. Ada mudik dengan muka berseri-seri, ada juga yang mengalami kesulitan luar biasa semenjak di perbekalan, finansial, sampai berdesak-desakan di jalan. Kadang justru mengalami kenaasan yang menyedihkan. Kita bisa lihat data tahun lalu yang menurut perhitungan dari beberapa sumber bahwa pada tahun 2010 tercatat sebanyak 1.351 kasus kecelakan selama mudik lebaran, 302 orang meninggal, luka berat 405 orang dan luka ringan sebanyak 826 orang (KPAI, 2011).

Mudik sendiri memang harus disematkan makna di dalamnya bahwa ‘kembali ke fitra’ setelah sebulan digembleng dengan keras dalam ritual bulan ramadan dengan segala kesibukan dan refleksi di dalamnya. Kembali ke fitra artinya mengembalikan hati dan fikiran ke dalam ‘kesucian’ layaknya awal manusia diciptakan. Mudik, selain diartikan membersihkan diri juga menyambung silaturahmi dengan keluarga dan sesama yang mempunyai derajat istimewa dalam ajaran Islam dan agama lainnya sekalipun mempunyai makna sosial yang serupa. Mudik, bisa juga diartikan kembali mempertautkan makna yang ilahiyah dan makna duniawiyah dalam dimensi hablum minallah dan hablum minna nass. Namun ada bebarapa pemaknaan yang berbeda dari fenomena mudik di era serba liberal ini.

Bagi komunitas di kampung-kampung banyak orang tidak merasakan ‘mudik’, karena mudik sejatinya adalah fenomena kelas menengah, para pekerja di kota, dan para pejabat yang ‘reses’ panjang karena bulan mudik ini. Banyak berita menginformasikan, bagaimana para pejabat publik menghabiskan jata pekerjaan/amanah untuk liburan ala mudik ini. Para politisi juga tidak kalah heboh, berbagai model kegiatan dilakukan dalam rangkah menyapa konstituen untuk persiapan pemilu atau pilkada. Inilah faktam bahwa berlebaran tidak melulu aktifitas agama, atau budaya namun juga menjadi ajang ‘pembolosan massal’ atau juga kampanye para pejabat atau calon pejabat publik. Makna mudik, kemudian dapat disimpangsiurkan kedalam berbagai kepentingan.

Jika kita mau refleksi sedikit, loyalitas anak bangsa ini ditentukan oleh minggu lebaran dimana semua orang pesta pora untuk menyenangkan diri masing-masing namun kita bisa melihat bagaimana sosok penjaga pintu air, penjaga palang kereta, polisi, seniman jalanan, tentara di perbatasan, dan para pekerja negara yang tidak bisa libur di hari H lebaran. Merekalah sejatinya para pejuang bangsa yang menyadikan bangsa dan roda ekonomi tetap jalan. Para petani di kampung-kampung juga berhenti hanya ketika sholat dan sehari saja ketika lebaran bahkan ada yang langsung kembali mengurus tanah pertanian. Karena mereka hanya berfikir lebaran bukanlah sesuatu yang perlu dilebih-lebihkan sementara pekerjaan untuk menghidupi api kompor di rumah juga kian mendesak. Berbeda dengan pejabat publik, yang bisa mempopulerkan diri di minggu ‘mudik’ dengan berbagai fasilitas negara mulai mobil dinas, THR, dan sebagainya yang ini tidak dirsakan oleh orang-orang yang tinggal desa.

Lalu bagaimana harus memaknai mudik? bagi pejabat publik yang memang dipilih baik langsung atau tidak langsung oleh rakyat maka prioritas mereka seharusnya adalah untuk kepentingan umum seperti upaya mengurus jalan dan infrastruktur agar tidak terjadi kecelakaan, kekerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Janganlah pejabat berkerah putih selalu mempersalahkan operator lapangan ketika terjadi kecelakaan padahal para pejabat publik kelas atasan itu hanya santai-santai di hari lebaran sementara bawahan harus rela tidak bertemu keluarga. Ini adalah satu fenomena bentuk-bentuk pengkambinghitaman terhadap ‘bawahan’. Kesadaran naif, bahwa bawahan selalu salah dan tidak tahu apa-apa sementara atasan adalah tahu segala-galanya dan kebal atas kesalahan harus dibuang jauh. Pejabat publik, mutlak dan aboslut harus bertanggung jawab kepada publik dan karena kita negara yang mengimani tuhan maka gerak dan langkahnya harus pula dapat dipertanggungjawabkan secara seksama dihadapan sang Pencipta.

Tahun ini mudik harus lebih bermakna dan jauh dari malapetaka. Jika para pejabat publik memang amanah tentu segala daya upaya untuk membantu sesama menggapai hakikat mudik haruslah menjadi prioritas utama dari nafsu pribadi untuk merayakan mudik sementara begitu banyak kewajiban disandarkan dipundak para pejabat publik. Mudik juga harus diartikan untuk menjadikan pemerintahan lebih transparan, lebih bijak dan bajik sehingga semua pejabat berkomitmen untuk tidak lagi mengembat fasilitas negara, kekayaan dan aset negara. Mudik harus diartikan sebagai semangat bersama untuk memerangi segala kejahatan termasuk kejahatan koruptor negara. Semoga idul fitri lebih bermakna bagi para pejabat publik dan demi sebesar-besarnya kesejahteraan dan pelayanan publik.

August 24, 2011


Tidak ada komentar: