Minggu, 25 Desember 2011

Kyai Dahlan, Gandhi dan Weapons of the Weak

Oleh : David Effendi


Tulisan ini bagian dari seri ‘kemenangan kecil’ yang ketiga. Beberapa hari ini saya melototi banyak buku dan jurnal international tentang kemiskinan, pemiskinan. Saya ‘dipaksa’ membaca ini karena saya megambil kuliah public policy selain itu saya dipaksa oleh diri sendiri sebab kemiskinan itu terasa dekat dengan diri saya dan komunitas atau bangsa dimana saying tinggal dan mengatakan sebagai tanah airku, sebagai bangsaku yang diproklamirkan sebagai rasa nasionalisme. Rasa mencintai dan memiliki itulah yang menggerakkan jiwa ragaku sampai belajar jauh di tengah samudra pasifik ini. Meski banyak orang mengatakan rasa kebangsaan hanya ilusi (’imagined community‘-Ben Anderson), fatamorgana dan meaningless di zaman internet yang menerebas sekat-sekat geografi tapi bagi saya (masih percaya) bahwa nasionalisme adalah nilai-nilai utama untuk membangun ketertiban dunia, menjamin kebaikan untuk peradaban meski kadang juga mengamini kata Braulliy bahwa nasionalism is nothing but politics. Setidaknya saya bisa mencontoh ‘nasionalisme’ yang ditunjukkan dua orang inspiratif yang saya jadikan judul tulisan sederhana ini.

Dari buku sejarah, ketika mendiskusikan kemiskinan, penjajahan, imperealisme, saya menemukan dua nama yang singgah lama di kepala saya. Kedua orang inspiratif itu saya anggap sebagai the great man yang memulai hidup perjuangannya dari kemenangan-kemenangan kecil yang ditelateni, dijalani dengan penuh dedikasi dan mimpi yang besar. Dengan segenap hati saya sangat kagum: Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) dan Mohandas Karamchand Gandi (1869-1948) atau yang dikenal Mahatma Gandhi. Mereka mungkin ‘seangkatan’ kalau saja mereka sama-sama ‘kuliah’ di Saudi Arabia, atau di Leiden, atau di Harvard. Kyai Dahlan berjuang dari Kampung di Indonesia sedangkan Gandi di daerah kecil di India. Jika Dahlan menghadapai belanda dan Jepang, Gandi yang tubuhnya ringkih Nampak perkasa berdiri menentang kolonialisme Inggris.

Belajar tentang poverty knowledge, di zaman sekarang di negeri barat tidak hanya mencari sebab dan akibat, mendiskusikan marxis dan liberal atau sejenisnya tapi juga memulainya dengan definisi, metode dan filosfisnya sehingga sangat memberatkan kepala dan pikiran lantaran bahasa inggris masih grotal gratul dan menemukan terminologi yang aneh dan bermacam-macam. Selain terminology juga mempelajari kemiskinan dalam konteks Amerika menemukan berbaga bentuk organisasi dan asosiasi. Masing-masing presiden mempunyai kebijakan yang beragam bahkan kadang bertolak belakang dengan presiden sebelumnya misalnya Nicon administrasi dengan Reagen, Obama dengan Bush, dan seterusnya. Maklum, semenjak tahun 1950-an riset mengenai kemiskinan sudah menjadi industry di USA hingga kini menjamur kelompok peneliti dengan berbagai ideology di belakangnya. Dan industry riset itu pun bertarung dan mengejar privilege untuk mendapatkan budget riset dari pemerntah atau perusahaan besar . Hal yang mirip-mirip terjadi di Indonesia pada saat menentukan jumlah korban bencana alam, sata menentukan keluarga miskin, anttara BPS, birokrat, NGO dan hasil riset akademik mereka tidak pernah akur untuk menentukan grafik dan kuantitas-kualitas data. Mereka juga memunyai klaim-klaim pembenar dan methodenya. Persis, dikatakan Weber bahwa birokrasi hari ini menduduki posisi yang powerful dalam politik dan kebijakan yang mana dari tangan birokrasilah ‘kebenaran data’ itu bersumber dan dijadikan referensi policy-maker.

Jika konteks Amerika kemiskinan menurut Wilson disebut underclass disebabkan oleh factor industrialisasi, menguatnya kelas menengah, dan juga kebijakan Negara dalam konteks Indonesia ketiga hal itu tetap sangat penting untuk dijadikan analisa tapi dalam konteks zaman Kyai Dahlan dan Gandhi tentu kolonialisme dan imperealisme menjadi factor utama pemiskinan dan meluasnya kebodohan akibat tidak dibukanya akses pada dunia ilmu. Karena kepentingan kaum imperealisme mereka hanya membuka kran kecil bagi kaum bangsawan untuk dididik dan kemudian mereka menjadi agen mengekspolitasi sesama bangsanya sendiri. Bagi saya pribadi, politics ethic is nothing but politics. Inilah sebabnya kemiskinan itu parah dan berlangsung berates tahun lamanya.

Soal kemenangan kecil itu dari sini bermula. Kyai Dahlan hidup di zaman penjajahan belanda karena diuntungkan di daerah kraton dia tidak lantaran terancam oleh belanda. Kesadaran untuk belajar tumbuh dan menghasilkan kepekaaan social. Jiwanya ingin merdeka dan memerdekan. Walau demikian ia tidak lantaran melawan belanda secara frontal tapi berfikir jangka panjang dengan mengajarkan ilmu, membuka sekolah, dan merekrut guru dan lalu membantuk organisasi yang dinamai Muhammadiyah. Hari ini ribuan sekolah dan ratusan panti asuhan dan rumahsakit-nya tersebar dari seluruh Indonesia. Dan recovery korban penjajahan itu sebenarnya iamulai dari hal-hal kecil, dari rumahnya, gang sempit kampungnya, musholah, dan daerahnya. Dahlan mengenalkan pentingnya pembumian ajaran agama tidak hanya dihafal dan dimiliki di dalam rumah tapi harus mempu ditransformasikan dalam kehidupan nyata dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Zaman itu, langkah ini kelewat berani bagi seorang pemuda kampong bukan anak raja. Wajar saja, meski pasca kemerdekaan, dalam surat Bung Hatta ke Soekarno yang diterbitkan dalam buku Demokrasi Kita, disebutkan bahwa Dahlan diancam dibunuh oleh oknum tertentu (mungkin kelompok komunis, mungkin juga militer, atau kedua belah pihak) Karena kuatnya pengaruh Dahlan di masyarakat Indonesia terutama kalangan santri. Inilah kemenangan kecil yang menjadi besar setelah seabad lamanya. Jadi untuk sebuah cita-cita luhur perlu perjuangan yang panjang dan melelahkan.

Bagaimana dengan Gandi? Ini betul betul sosok yang luar biasa. Cerita hidupnya dibaca oleh ratusan juta ummat manusia dibumi. Kata-katanya membumi dan cara nalar berfikirnya seperti keluar dari hasanah zaman yang ia lewati. Ahimsa, setyagraha, dan swadesi, adalah slogan-slogan yang kuat dan penuh strategi anti kekerasan. Dia tidak beda dengan Kyai dahlan, keduanya berusaha belajar untuk rakyat dan menghindari pertumpahan darah yang sia-sia. Gandi memahami kemiskinan, perbudakan, dan kepahitan yang dialami oleh rakyat India masa penjajahan mesti harus dijalani , ia sendiri menjalani hal yang sama seperti orang kebanyakan tapi juga membangkitkan semangat ‘civil disobedience’ dalam jiwanya. Konon Gandhi sangat dipengaruhi oleh tulisan Handry David Thoreau (1856)  tentang ‘Civil Disobedience’(George Hendrik dalam Walden and Civil Disobedience, 1966). Al kisah, di sebuah konferensi International seorang reporter, Webb Miller, menemui Gandhi dan bertanya,: “Did you ever read American namee Hendry D Thoreau?” dan apa jawabannya Gandhi? Dia bilang,” Why, of course I read Thoreau. I read Walden first in Johannesberg in South Africa in 1906 and his ideas influenced me greatly…I took my movement from Thoreau’s essay, ‘On the Duty of Disobediance,’..”

So, pilihan Kyai Dahlan dan Gandhi adalah pilihan sadar dan ‘rasional’ jika kita kaji sekarang tapi di zamannya bisa jadi dianggap nyeleneh. Selain mereka menyaksikan ada konfrontasi mematikan dia tidak terpanding dan menekuni hal-hal kecil dan dengan membangun budaya unggul di sana lah terbuka gerbang untuk menuju kemerdekaan. Kemerdekaan tidak hanya berupa jasad merdeka, tapi alam fikiran, kebudayaan, dan harga diri juga tetap menjadi nilai-nilai yang mutlak harus dimiliki sebagai nilai-nilai Asia yang unggul dan disegani bangsa lain. Kiprah Gandhi dan Dahlan mengigatkan saya selain buku tentang civil Obidience atau pembangkangan sipil tersebut diatas juga buku James Scoot tentang model perlawanan orang-orang lemah di desa di Malaysia dalam bukunya the weapon of the weak. Petani-petani melawan dengan caranya sendiri dan dengan logikanya sendiri sebagaimana yang dilakukan Gandhi dan Dahlan. Mereka memang orang-orang yang meyakini kemenangan kecil dan berani mengambil resiko. Moga ada manfaat.

Reading room EWC, Oct 11 2010
Menjelang kuliah 3.30 pm


Tidak ada komentar: