Sabtu, 24 Desember 2011

Ada Apa di Mesuji?

Oleh : Dr. Zaim Uchrowi


Berita itu begitu menyentak. Dalam suatu waktu sekitar 30 orang penduduk dibantai. Lokasinya di Mesuji, Lampung. Yang bertanggung jawab adalah perkebunan kelapa sawit. Perusahaan yang punya sengketa lahan dengan penduduk. Mereka membayar ‘pam swakarsa’ buat memerangi masyarakat.

Keriuhan pemberitaan pun berkembang. Banyak orang sempat percaya. Di Kalimantan, perusahaan semacam telah membantai orang utan demi sawit. Demi sawit pula, sangat mungkin mereka melangkah lebih jauh. Yakni, mengorbankan warga yang menentang usahanya. Apalagi ada tayangan video yang ditunjukkan. Plus kedatangan sejumlah masyarakat adat buat mengadu ke DPR.

Syukurlah belakangan makin terang bahwa berita itu tidak benar. Korban jiwa akibat benturan kepentingan memang terjadi. Namun, cerita dramatis pembantaian penduduk tidak terbukti. Sama halnya dengan cerita kosong perkosaan para perempuan keturunan Tionghoa dalam rusuh 1998. Cerita rekaan yang dianggap benar oleh dunia dan sungguh menghancurkan martabat bangsa ini.

Di seputar Mesuji, memang tercatat setidaknya enam orang tewas akibat konflik soal sawit. Ini di Mesuji yang masuk Kabupaten Ogan Komering, Sumatra Selatan. Dua orang tewas ditembak tenaga pengamanan kebun. Warga marah. Mereka menyerbu perkebunan, membunuh dan memenggal pekerja yang ditemuinya.

“Utang nyawa dibayar dengan nyawa.” Itu prinsip kuno yang semestinya telah terkubur namun masih hidup di masyarakat setempat. Dengan tambahan nyawa melayang, Mesuji Sumatra Selatan kembali tenang. Namun, Mesuji tetangganya di Lampung yang justru memanas. Sejauh ini tak terdengar kabar adanya korban nyata di tanah bergolak ini. Dan, memang jangan pernah ada korban siasia untuk hal ini. Sudah bukan saatnya lagi Indonesia punya tragedi begini.

Laporan tentang tragedi Mesuji boleh jadi berlebihan. Namun, laporan itu telah mengikonkan Mesuji sebagai pengingat ketertindasan. Yakni, ketertindasan sebagian warga pulau yang menyimpan sejarah kemakmuran luar biasa di masa lampau. Sejarah kemakmuran yang telah diwujudkan Kerajaan Samudera Pasai. Juga sejarah kemakmuran yang dibangun Sriwijaya —yang dulu menjadi kerajaan dagang terbesar di kawasan Asia Tenggara dan Timur.

Semua mengenal nama ‘Swarnadwipa’ atau Pulau Emas. Nama lama untuk menyebut Sumatra. Kemakmuran yang disimbolkan emas semestinya menjadi wajah seluruh masyarakat di sana. Ternyata tidak. Dua pertiga abad Indonesia merdeka belum juga membebaskan seluruh warganya dari keterpurukan. Begitu banyak orang masih bergelut pada kehidupan tradisional yang sederhana. Sangat tidak memadai untuk menghadapi era global.

Sebagian warga kita masih menjadi pengumpul hasil dan pengolah lahan hutan sekadarnya. Kehidupan yang telah diwarisi dari generasi sebelumnya selama berabadabad. Tiba-tiba mereka harus berhadapan dengan dunia modern. Dunia yang benar-benar dikendalikan oleh kekuatan kapital. Dalam kasus di Mesuji, juga di banyak tempat lain, kekuatan kapital itu adalah kebun-kebun sawit yang sekarang memang makin meluas.

Dua pihak, masyarakat setempat dan perusahaan perkebunan, pasti berhadapan berebut lahan. Masyarakat hampir pasti kalah di jalur formal. Lalu, menempuh jalan sendiri yang paling mereka pahami. Perusaha an kemudian merekrut ‘tenaga pengaman’ juga dari masyarakat. Tentu didukung (oknum) polisi atau tentara yang mereka bayar pula. Sebuah bentuk benturan yang tidak akan ada pada bangsa-bangsa maju.

Bila kita sebagai bangsa melangkah secara benar, tak akan ada benturan macam ini. Tak akan ada petani yang marah sebagaimana di Mesuji dan tempat lainnya. Mereka tidak terjepit oleh kekuatan-kekuatan raksasa yang merebut lahan di sekitarnya. Bahkan, kekuatan-kekuatan asing yang makin agresif membuka kebun-kebun sawit di negeri ini.

Semestinya para petani itulah pemilik kebun-kebun sawit. Seperti di Australia, Amerika Utara, bahkan Eropa yang sempit pun, petani adalah pemilik lahan ribuan hektar. Kalaupun tak memiliki tanah luas dan tetap menjadi petani kecil, mereka pasti terikat dalam koperasi tani yang kuat. Itu yang ada di Jepang, Korea Selatan, hingga Taiwan. Hanya dua model petani itu yang dapat bertahan di era global. Bukan petani gurem seperti di hampir seluruh pelosok negeri ini, termasuk di Mesuji.

Benturan seperti di Mesuji sudah tak boleh terjadi. Pengaturan lahan harus jelas, tegas, dan adil bagi semua kepentingan. Negara sudah harus mampu mentransformasi petani gurem menjadi terkoordinasi dalam koperasi tani yang kuat. Infrastruktur pendukung kemajuan masyarakat pun harus segera terbangun memadai. Seperti jalur rel gan da kereta api Lintas Sumatra, yang bermula dari Lampung.

Sudah tidak pantas negeri semakmur ini gagal mengangkat warganya. Bahkan, sekadar ke tingkat minimal buat menghadapi tuntutan era global. Mesuji mengingatkan kita tentang itu. Mengingatkan kita agar bahumembahu era baru. Era yang tak ada lagi berita menyentak dan menyedihkan seperti yang biasa kita dengar.


Sumber : http://koran.republika.co.id, 23 Desember 2011 , gambar : antaranews.com

Tidak ada komentar: