Sabtu, 24 Desember 2011

Resensi Tonggak Sang Pencerah

Oleh : David Effendi



Berulang kali dikatakan Darwisy atau Dahlan dalam seluruh bagian novel ini, bahwa Dahlan menolak dengan keras dan tegas, Islam bukanlah agama ritual belaka, terbelakang, dan menghalangi Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan terbebas dari penindasan, ketidakberdayaan, kebodohan dan kesehatan yang terpuruk (hlm. 48, 246, 250). Ini merupakan novel yang membangkitkan semangat berorganisasi di kalangan aktivis Muhammadiyah. Karena ada kekuatan yang mengancam, meminjam kata-kata Dahlan yang sedikit penulis ubah, ”Bahwa bisa jadi Muhammadiyah lenyap dari Indonesia, tapi Islam tidak akan lenyap dari muka bumi.” Atau, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenar-benarnya”, yang diadopsi oleh Buya dari pendapat, ”Sebuah Islam yang tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah manusia, bukanlah Islam yang sebenarnya.”

Lega dan bahagia rasanya, membaca satu kekayaan dan khazanah baru mengenai KHA. Dahlan yang telah merintis dan mendirikan Muhammadiyah yang sampai kini sudah berusia satu abad atau seratus tahun. Selain puluhan atau ratusan buku yang tertulis mengenai sosok manusia santun dan bijak dari Kauman ini, genre baru dalam bentuk novel pun hadir mengapresisasi, betapa sosok Darwisy itu mampu menginspirasi anak bangsa untuk berbuat lebih banyak untuk bangsanya, untuk kemanusiaan sebagaimana yang diperankan oleh Dahlan dan pengikutnya pada zaman itu. Zaman yang terus bergerak pincang, meminjam istilah Passandre dalam novel ini, Dahlan bisa bergerak dan terus bergerak untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah semangat kemanusiaan dan bukan aliran tradisi yang tersingkir, terbelakang dan tidak modern. Bayangkan, dalam keadaan yang serba terbatas, berhadapan dengan tradisi, kolinialisme, tradisi kraton yang kokoh seperti pohon beringin itu, Dahlan tidak gentar terus melakukan istima’, ijtihad bahwa harus ada jalan keluar, untuk membawa bangsanya keluar dari keterpurukan dalam beraqidah, sosial, ekonomi, dan politik.
Penulisan novel ini diilhami oleh film dokumenter “KH Ahmad Dahlan Sang Pencerah” yang dikeluarkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UMY tahun 2006 dan dipersembahkan untuk Sang Pencerah, Pahlawan Kusuma Bangsa, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan Muktamar Seabad Muhamamdiyah 2010. Sebuah kalimat yang sangat tulus, bagaimana penulis yang merupakan alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini mempunyai kepekaan hati untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi Dahlan, bagi Muhammadiyah, dan bagi anak bangsa yang seiring dan sejalan dengan pemikiran dan aksi sosial Dahlan. Kita mesti berterima kasih pada penulis yang memberikan bacaan yang menyentuh, penuh referensi, fakta, nuansa revolusi, menggebu-gebu, mendobrak, dan kadang-kadang hanyut dalam romatisme keluarga sakinah yang damai tentram yang pernah dilakoni KHA Dahlan. Panduan Hidup Islami Muhammadiyah mungkin perlu disempurnakan dengan membaca novel ini terutama Penggalan 6-10, yang berisi dialog-dialog singkat dan kaya makna antara Dahlan dengan Walidah, yang cukup menyentuh dan membuat kita meneteskan air mata (baca juga hlm. 247-249).

Passandre menarasikan kisah yang mengandung nilai keutuhan hidup dengan sangat apik. Sosok Dahlan atau Darwisy sebagai sosok yang selalu risau terhadap tradisi yang lebih dimuliakan dari pada ajaran Agama Islam. Sosok yang mendobrak dan anti penjajahan, dalam suasana kehidupan keluarga yang harmonis, yang saling menguatkan dengan landasan Islam yang akan membawa kebahagiaan. Dahlan sama sekali bukan digambarkan –dan memang bukan– sebagai tokoh yang egois, hanya mementingkan orang lain atau perjuangannya, tidak mau tahu dengan urusan keluarga. Pendek kata, Dahlan ingin mengatakan bahwa kehidupan berkeluarga tidak akan pernah menghalangi dakwah, menghalangi peroebahan yang dicita-citakannya, bahkan menawarkan ragam second opinion, atau alternative, manakala kebutuhan dalam perjuangan itu menghentikan langkah kakinya (hlm. 249). Sekali lagi, ayat-ayat cinta dan semesta itu hadir menyelimuti kehidupan rumah tangga Dahlan-Walidah.

“Dari penampilannya saja, sekolah itu memang tampak mengingkari  zamannya, dan seolah hendak membangun zaman baru: zamannya sendiri. Zaman dimana manusia terbebaskan dari belenggu tradisi yang membodohkan.” (hlm. 258). Ya, Dahlan memang memberontak tradisi, memimpikan perubahan. Dan untuk membangun zamannya, dan zaman yang akan datang, Dahlan mengorbankan banyak hal, terutama waktu bercengkerama dengan keluarga, lalu ditinggal ke Makkah untuk naik haji dan belajar agama. Dahlan ingin Islam modern sehingga arah kiblat pun perlu direvisi sebagai konsekuensi dari berkembangnya ilmu pengetahuan, karena Dahlan mengenal dunia, mengenal ilmu geografi. Disamping itu, beliau memahami dan menyaksikan bahwa Islam yang revolusioner sedang bergeliat di tanah Arab, Mesir yang dipromotori oleh Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan sebagainya. Dahlan memanfaatkannya sebagai pendorong semangat dalam jiwanya untuk aksi nyata: Peroebahan! Tidak hanya itu, Dahlan juga belajar membangun sekolah yang meski dianggap kafir lantaran meja kelas dan pelajaran musik dan biola (hlm. 262). Beliau juga memikirkan perlunya organisasi setelah berinteraksi dengan Budi Oetomo, Taman Siswa, dan hasil dialog dengan seorang pelajar yang tidak rela sekiranya sekolah Dahlan ambruk dan roboh jika kelak Dahlan meninggal dunia. Maka, ikhtiar itu termanifestasikan dalam langkah nyata mendirikan organisasi modernis yang diberikan nama Muhammadiyah pada 18 November 1912.

Salah satu keunggulan novel ini adalah sosok penulisnya yang memang aktivis Muhammadiyah, semenjak SMA menghabiskan waktunya di Sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta dan aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah sampai di tingkat Pimpinan Pusat. Aroma kepekaan sebagai “orang dalam” sangat kental dan sering melihat ‘dinamika Dahlan’ sebagai sesuatu yang harus kembali ditumbuhkan kepada generasi kekinian, anak muda Muhammadiyah yang bisa jadi terlalu dimanjakan dengan fasilitas sehingga tidak peka dan tidak berani mengambil posisi yang beresiko. Inilah yang hendak penulis novel ini bangun, bahwa katakan kebenaran walau rasanya pahit, sebagaimana kisah Dahlan dalam khutbahnya di Semarang saat perjalanan haji menuju Tanah Suci Makkah (hlm. 117). Bangsa ini akan beranjak menjadi baik jika kata-kata Dahlan itu terus dipraktikkan dalam segala situasi. Bangsa ini tentu tidak akan mendapat predikat bangsa dengan indeks korupsi tertinggi di jagat raya.

Novel ini sangat layak untuk dijadikan bacaan wajib dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah baik di tingkat sekolah dasar atau sekolah tinggi dan universitas. Buku yang kaya akan literasi dan referensi ini diharapkan akan menggugah semangat untuk ber-uswatun hasanah kepada para pemimpin terdahulu, untuk kembali melejitkan ghirah bermuhamamdiyah, berislam, dan berbuat untuk kemanusiaan. Maka, “saya berharap Muhammadiyah benar-benar bertujuan untuk pencerahan kehidupan umat. Bukan untuk kepentingan pribadi. Maka itu, hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” (hlm. 279).
Beberapa hal menarik lainnya adalah pesan-pesan yang penuh inspirasi dan makna dari Dahlan kepada muridnya atau santrinya selama berinteraksi pada saat-saat penuh tantangan. Kata-kata berbobot itu layak dijadikan pelajaran untuk anak didik Muhammadiyah (hlm. 220, 221, 231, 260, 264). Dan salah satu usulan yang sederhana mungkin diantara bab atau penggalan itu dilengkapi foto dokumentasi, atau karikatur yang bisa mengundang perhatian pembaca, terutama pembaca muda yang masih ogah-ogahan membaca novel apalagi yang namanya text book.

Terakhir, sebagaimana Nabi Muhammad, dalam dakwahnya Dahlan juga mengalami masa-masa sulit seperti perlawanan dari kelompok Islam-tradisi, langgar atau musholla yang dirobohkan, dituduh kyai kafir, juga peristiwa memilukan saat meninggalnya ibunda tercinta dan ayahnya, namun hasrat perubahan terus dipelihara dalam pikiran dan tindakannya. Lalu, perubahan itu terus bergerak kencang dan bertenaga menerobos zaman, sejarahnya yang terus tumbuh dewasa dan terkadang macet di tengah jalan. Tapi, karya Dahlan terus dipercayai sebagai kebaikan, kesalehan sosial yang dilandasi keislaman yang membebaskan, yang dilandasi akal sucinya untuk menebar rahmat bagi semesta raya. Prestasi baik Darwisy dan Dahlan keduanya itu tak akan musnah dimakan bubuk zaman, tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Mewakili penulis novel itu yang ingin mengatakan: Selamat Milad Muhammadiyah ke-100 tahun, semoga tetap energik, bertenaga dalam bergerak memasuki pusaran gelombang kedua di abad kedua ini. Selamat membaca dan salam dari pengikut Tonggak Sang Pencerah.


Tidak ada komentar: