Jumat, 11 Mei 2012

Andaikata Bush dan Ahmadinejad Nonton Piala Dunia

Oleh : Dr. Muhadji Effendi.,M.AP


Apa ada kaitan antara sepak bola dengan perang?. Jawabnya ya. Singkatnya,  sepak bola adalah bentuk sublimasi dari syahwat manusia untuk saling berperang. Ia adalah ”perang” yang sudah diperadabkan. Sumber syahwat itu adalah berasal dari konstruksi diri manusia itu sendiri yang pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur pasangan yang berlawanan (Binary opposision). Manusia disamping memiliki naluri bekerjasama juga konflik, memiliki perilaku mempertahankan  diri (defensif) tapi sekaligus juga   menyerang pihak lain (agresif).

Perang adalah syahwat yang sama sekali tidak bisa dielakkan oleh manusia. Manusia hanya bisa membelokkan syahwat itu ke dalam bentuk tabiat yang lebih sublimatif. Upaya pencarian bentuk ”perang” yang sublimatif itu sudah dimulai oleh masyarakat primitif, misalnya kebiasaan perang antar mereka diganti dalam bentuk tarian perang-perangan. Di era modern, Gang-gang anak muda brandalan di kawasan Manhattan,  New York telah mengganti perang antar Gang  dengan tarian yang pernah terkenal yaitu ”Break Dance”.

Perang adalah bentuk ekspresi manusia yang paling fenomenal  dalam melampiaskan naluri bekerjasama dan berkonflik, perilaku defensif  dan agressif secara simultan. Apapun alasannya, akibat dari perang adalah kehancuran yang berkesinambungan (Collateral damage). Menyadari akibat buruk sebuah perang itulah manusia mencoba mencari alternatif  bentuk ”perang” yang lain, yang lebih sublimatif, beradab, dan tidak destruktif. Bukan yang menebar penderitaan tapi menggembirakan. Sementara itu syahwat untuk saling berperang tetap terlampiaskan dengan baik. Dan, sepak bola adalah bentuk su blimasi pelampiasan syahwat berperang manusia yang paling sempurna dalam banyak segi. Bahkan Pepe Escobar,  dalam Asian Times Online, menyebut sepak bola sebagai ”Agama monotheisme terbesar di dunia”.

Ironisnya, sepak bola itu semula justru dimaksudkan untuk melatih kekuatan, kecepatan dan ketangkasan para prajurit sebelum dikirim ke medan pertempuran. Menurut Bill Hutchison, dalam tulisannya ”The Essential History of Soccer” mensinyalir permainan sepak bola yang paling primitif sudah dikenal oleh tentara China pada masa Dinasti Han, sekitar abad ke tiga dan kedua  sebelum Masehi. Tetapi negara Enggris lah yang dianggap sebagai tempat lahirnya sepak bola modern. Proses untuk sampai pada bentuknya yang modern itu sangat berliku. Pernah pertandingan sepak bola dijadikan ajang perang sungguhan antar penduduk yang bermusuhan. Sekitar abad  VIII ada pertandingan sepak bola yang bolanya menggunakan penggalan  kepala manusia. Yaitu kepala panglima perang musuh, seorang pangeran dari kerajaan Denmark yang dalam sebuah pertempuran pasukannya dikalahkan oleh tentara kerajaan Enggris. Lantaran brutalitas yang terkandung dalam sepak bola itu mendorong Raja Edward III pada tahun 1331 menetapkan undang-undang larangan pertandingan sepak bola, berikutnya Ratu Elizabeth I menerapkan undang-undang serupa dengan hukuman satu minggu dan kerja paksa di pusat pelayanan gereja bagi para pemain bola.

Keterkaitan antara perang dengan sepak bola juga bisa diamati dari istilah-istilah yang digunakan dalam permainan paling populer ini. Misalnya, defender, striker, wings, off side, front line, back line, captain adalah istilah yang digunakan dalam dunia pertempuran. Sebetulnya bukan hanya sebatas istilah saja bahkan doktrin permainan ini juga mirip doktrin pertempuran. Pemain sepak bola dan tentara sama-sama memiliki suasana mental yang didominasi oleh sikap pesimis dan pemikiran negatif.

Sebagai salah satu implikasi sikap pesimis adalah, baik pemain bola maupun tentara, sama-sama ”tidak berani” sendirian. Mereka harus bersama-sama. Satuan terkecil tentara adalah regu, antara 7-10 personnel, sementara satuan sepak bola adalah kesebelasan. Karena itu tidak ada sepak bola pemainnya hanya satu orang. Begitu juga tidak ada tentara maju ke medan perang sendirian, kecuali hanya dalam film ”Rambo” yang dibintangi oleh Silvester Stallone itu. Sekalipun film perang itu  sangat terkenal, konon sampai digemari oleh mendiang presiden Ronald Reagan, tapi dilihat dari teori militer ia adalah karya film perang yang paling bodoh dan konyol yang pernah dibikin manusia.

Karena sikap pesimistis itu maka baik pemain bola maupun prajurit harus membuang jauh-jauh sikap egosentris. Mereka harus menyadari bahwa kalah- menang, hidup-matinya sangat tergantung kepada anggota yang lain. Karena itu baik sepak bola maupun prajurit sama-sama bersandar pada kesetiaan korps yang ditunjang oleh disiplin tinggi. Talenta dan kekuatan individual memang sangat diperlukan baik dalam kesebelasan maupun satuan tempur, tetapi kalau itu menjelma menjadi egosentrisme dan mengalahkan solidaritas dan disiplin korps akan menjadi tidak ada artinya bahkan bisa membahayakan. Dalam laga piala dunia ini dapat disaksikan, kenapa kesebelasan yang bertabur  bintang tetapi penampilnya hingga saat ini, –meski lolos putaran berikutnya– mengecewakan. Misalnya yang terjadi dalam kesebelasan Enggris. Beckham, de facto bukan satu-satunya kapten di kesebelasan “Three Lions”. Ada Gerald (Liverpool), Neville (Manchester United), Terry (Chelsea). Masalahnya mereka adalah kapten di club asalnya dan masih merasa tetap menjadi kapten di dalam kesebelasan Enggris.
Pemain bola dan tentara sama-sama berpemikiran negatif dominan. Implikasi psikologis yang paling  normal dari pemikiran ini adalah selalu waspada, hati-hati, penuh kalkulasi,  sedang upnormalnya adalah sikap menjadi serba curiga dan paranoia. Pemain bola maupun prajurid memang seharusnya selalu waspada bahkan sering-sering curiga, bukan hanya kepada gerak gerik lawan yang harus selalu dimaknai sebagai ancaman, bahkan teman sendiri pun harus dicurigai, jangan-jangan ia membuat kesalahan. Karena betapa kecilnya suatu kesalahan, adalah sangat berbahaya. Karena hal itu bisa berarti peluang bagi lawan untuk menghancurkannya. Bagi pemain bola, hal itu bisa berarti terciptanya gol oleh lawan, sedang bagi tentara bisa berarti kematian.

Dalam sejarah piala dunia, event ini tidak jarang dibayang-bayangi oleh perang dan konflik, baik yang sedang, maupun yang telah lama terjadi. Dalam piala dunia kali ini, misalnya, tatkala kesebelasan Potugal berhadapan dengan Angola, ada bayang-bayang sejarah konflik masa lalu antara Portugal sebagai penjajah dengan Angola sebagai yang terjajah. Dalam Piala Dunia 1986, tatkala kesebelasan Argentina mengalahkan kesebelasan Enggris pada babak perempat final, bagi rakyat Argentina seakan kekalahannya dari Enggris dalam perang Malvinas terbalaskan. Jika dalam ajang Piala Dunia ini kesebelasan Enggris bertemu kesebelasan Argentina kembali, dugaan saya kenangan Perang Malvinas juga masih akan muncul kembali.

Keikutsertaan Iran dalam piala dunia kali ini disambut aksi demontrasi  oleh  komunitas Yahudi dan simpatisannya yang memprotes pernyataan presiden Iran, Ahmadinejad yang anti Semit. Tetapi sebaliknya kesebelasan Iran memperoleh dukungan sangat besar dari kalangan Neo Nazi di sana.
Piala Dunia kali ini sebetulnya juga dibayang-bayangi oleh perang. Setidak-tidaknya perang  pernyataan, antara presiden Bush dengan Ahmadinejad mengenai masalah program nuklir Iran.  Sayang kesebelasan Iran dan Amerika Serikat tidak berada dalam satu group. Dan keduanya sama-sama terpental pada putaran pertama. Seandainya kedua kesebalasan bisa bertemu dan Ahmadinejad jadi datang memberi dukungan bagi kesebelasan negaranya, sementara George W Bush tidak mau tinggal diam juga datang memberi dukungan kepada kesebelasan Amerika Serikat, tentu pertandingan Iran melawan Amerika Serikat akan sangat seru. Bisa lebih seru dibanding babak finalnya. Dan mungkin Bush pun tidak lagi bersemangat akan menyerang Iran, karena syahwat agresifnya telah terlampiaskan di medan Piala Dunia.