Kamis, 03 Januari 2013

Akhir Tahun 2012 Menegaskan Gagalnya Peran Negara

Oleh : David Efendi, SIP, M.A
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY


Perjalanan negara ini, setiap penghujung tahun selalu diuji dengan bencana alam. Baik karena natural disaster (murni kejadian alam) maupun human made (kesalahan manusia/tekhnologi). Termasuk akibat sengketa dan konflik antarwarga sebab sentimen SARA.

Kita ingat, pada akhir tahun 2004 ditutup dengan ratap tangis korban Tsunami di Aceh, akhir tahun 2009 ditutup dengan suasana pedih korban gempa Padang,  akhir tahun 2010 letusan gunung merapi meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan tahun 2012 yang konon kabarnya adalah tahun 'kiamat' ditutup dengan serentetan duka konflik antarwarga. Termasuk sengketa iman, rebutan lahan, sentimen SARA semua itu semakin menegaskan, gagalnya peran negara.

Kejadian di Lampung, dilihat dari kacamata kami, warga yang tinggal di luar daerah yang dikenal sebagai say bumi ruah jurai itu mengisyaratkan integrasi bangsa ini rapuh dan proses pembangunan bangsa ini juga memang benar- benar belum usai. Menurut istilah Max Lane, unfinished nation state building. Artinya, bangsa ini terus dihantui oleh ancaman disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya--kapan dan dan tanpa dapat diprediksi dengan tepat ibarat letusan gunung merapi.

Apa yang mesti dikoreksi dari lintasan kejadian selama tahun 2012 ini. Mengutuk pemerintahan yang absen, terlalu sibuk pencintraan, dan penyelamatan diri dari jaring anti-korupsi dan sebagainya tentu saja belum cukup.

Kerentanan sosial dan politik ini, salah satunya, dapat dibaca dari konsep 'governability' dimana negara yang menurut Marx Weber adalah lembaga yang secaa syah menggunakan kekerasan itu tidak dapat difungsionalisasikan dengan tepat sehingga justru paradok yang muncul. Paradok artinya kehadiran dan ketidakhadiran 'negara' itu keduanya membawa 'petaka' bagi eksistensi kedamaian dan kerentanan sosial. Jika 'negara' yang sering diharapkan peran 'pembawa kebiakan umum' saja gagal menjalankan fungsi dasarnya tentu saja psimisme bangsa akan melanda sampai ke level paripurna. Wajar saja, komunitas Anti-Tank di Yogyakarta mempublikasikan seruan untuk 'jangan pernah perecaya kepada pemerintah' dan juga menyebutkan bahwa itu penuh “kebohongan|” dan “bajingan” (dengan gambar gedung MPR melatarinya).

Trust masyarakat telah dibunuh oleh pemerintah itu sendiri sehingga klimaknya, setelah ada gambar Budiono: antara ada dan tiada, lalu muncul di dunia maya mengabarkan kehilangan sosok presiden: Dimana atau kemana presiden pada saat silang sengkurat antara Polri dengan KPK. Sinyalemen pelemahan negara oleh pembajak demokrasi dan elit pembunuh keadilan itu kemudian bermuara pada ekpresi masyarakat tentang 'kegagalan negara dan kebohongan negara' yang juga menimbulkan kegaduhan politik yang sangat serius----lantaran, negara menjawab kritik dengan membalas kritik sehingga ada upaya menjawab dengan kerja keras dan kejujuran untuk menyampaikan fakta. Inilah sebab kegaduhan dalam pemerintahan 'yang mengedepankan pencitraan ketimbang menjawab kebutuhan riil publik.

"Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Demikian dictum dari pasal 5 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian di Negara kita. Jelas idealnya, lembaga Negara ini diharapkan menjadi bagian dari solusi baik prefenstif maupun penindakan tetapi dalam praktiknya, lembaga Negara baik kepolisian maupun TNI justru menjadi part of problem. Kasus sengketa wewenang POLRI dengan KPK, TNI dengan insane media (di Ambon baru-baru ini setelah kejadian di Riau) dan sejarah republik ini nampaknya oknum ‘pengguna kekerasan secara sah’ ini kerap kali kontraproduktif dengan pembangunan politik dan demokrasi.

Kondisi ini tidak 100% murni kesalahan TNI ataupun polisi karena sebenarnya dalam batas tertentu mereka sudah sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi dan batasan isu Hak Asasi Manusia namun ada beberapa kondisi yang menjadikan posisi ‘agen’ jasa keamanan resmi ini dalam situasi delematis. Satu sisi, laiknya Negara transisional oknum ‘keamanan’ diharapkan mampu menjadi katalisator dari berbagai upaya kelompok baik yang pro dengan strategi kekerasan (GAM di Aceh, OPM di Papua, kelompok pro integrasi dan merdeka di Timor-Timur) dan sebagainya. Namun, di sisi lain ada batasan dan penghargaan terhadap kebebasan sipil dalam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berserikat.

Dalam situasi chaos seperti tahun 1998, 2003, konflik ‘SARA’ dan juga di penghujung tahun 2012 ini ‘negara’ benar-benar dalam keadaan sulit untuk memastikan masyarakat hidup dalam damai. Kita lihat, serentetan konflik antar desa, antar suku, antar aliran kepercayaan/agama terus terjadi dan Negara dihadapkan kepada dua pertanyaan besar dari kedua belah pihak baik yang menghendaki peran kuat Negara atau yang menghendaki tegaknya Hak Asasi Masyarakat Sipil. Satu kelompok mempertanyakan kemana Negara di saat situasi perang/konflik? Dan satu sisi melontarkan kenapa Negara bersifat represif dan tidak memanusiakan manusia?

Mencari Solusi
Setidaknya ada dua penjelasan solusi. Pertama, jika persoalan tawuran, geng motor, konflik antar keyakinan agama, dan pilkada adalah dianggap sebagai ekpresi protes dari ketidakadilan yang terjadi secara luas dan akibat Negara gagal menegakkan janji kesejahteraan maka pemerintah harus menjawab dengan kerja nyata perbaikan ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan, secara nyata dan integral dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dan dengan komunikasi yang proporsional selama program itu berlangsung tanpa tendensi politik musiman (baca: kepentingan pemilu 2014).

Dan kedua, apabila persoalan kekerasan dan banalitas masyarakat yang menggejala akhir-akhir ini akibat dari kegaduhan politik, korupsi, dan hilangnya kepemimpinan yang berkarakter pro- rakyat (strong leadership) atau dalam bahasa agama keteladanan pemimpin (authentic leadership) maka harus ada upaya yang sangat radikal untuk menghukum ‘pejabat’ bermental busuk dengan cara-cara yang diluar kebiasaan mekanisme birokrasi. Gebrakan melawan mentalitas permisif itulah yang sekarang dibutuhkan tanpa kehilangan dukungan moral publik.

Jika makna toleransi justru dipelihara untuk melegalkan kejahatan terhadap bangsa, maka wajar saja dan akan terus mengalami siklus kekuasaan elit yang bersifat predator dan kanibal yang pada endingnya nanti baik secara langsung maupun tidak langsung, secara radikal maupun konvensional akan turut andil meruntuhkan Indonesia. Jika demikian kondisinya, tahun 2013 akan diliputi kabut hitam untuk mimpi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera

Sumber : koraneditor.com, (2 Jan 2013)